Demi Buah Salak

Senin, 20 Mei 2019 ...

Demi apa coba gue install aplikasi Messenger ini lagi? Beberapa hari yang lalu, waktu kangen masa-masa berpetualang di negeri orang, gue activate lagi akun facebook buat unduh foto-foto kece. Nahh, sekilas ada pesan dari seorang kawan lama asal Kamboja. Saat itu, masih gue cuekin aja. Selesai unduh dan simpan foto lama, facebook gue deactivate lagi. Pusing liat berita-berita panas berseliweran, padahal sudah meng-unfriend banyak.

Lhaa ... biasanya teman-teman dari luar negeri, kasih kabar dari facebook kan ya? Pesannya, yaa lewat aplikasi Messenger. Wahh .. jangan-jangan dia nanya kemungkinan ketemu. Seneng kan ya, kalo ke luar negeri untuk acara formal, terus kita bisa pamer ini lhoo saya punya teman di sini ... ha ha ... Oke lahh, demi jaringan pertemanan, siapa tahu nanti jaringan kerja sama G to G ... he he

Hi, Suci –san ... do you live in Jakarta?” ternyata Sovyl yang bertanya.

I work in Jakarta, but live outside Jakarta,” enaknya punya teman dari sesama negara ber-flower tuh yaa ... ga perlu mikir English kita betul apa engga. You know and I know lahh.

I have meeting in hotel Pullman Jakarta from May 20 to 22,” jeda dari satu kabar ke jawaban lumayan lama, bisa dalam hitungan hari.

Ohh ... May 20 is today. Are you free at 4 or 4.30 p.m?” gue ga mikir jadwal lagi. Lebih cepat, lebih baik. Ini bulan puasa, jadwal pulang kantor lebih cepat. Lagian 4 hari ke depan kemungkinan gue belum puasa. Gue coba menghubungi kompatriat satu angkatan yang cuma 3 orang lagi. Mereka berhalangan hadir. Yahh ... meski bulan puasa, kesibukan pejabat-pejabat setingkat mereka engga kendor.

Besok belum tentu ada waktu, dan tanggal 22 Mei konon kabarnya akan ada aksi masa. Wahhh ...

Sore itu, gue bergegas ke hotel tempat pertemuan dengan harapan, segera ketemu akan segera pulang. Tapi ... apa yang kurang ya? Ojek online sudah dipesan, tujuan sudah dikonfirmasi berkali-kali, dan titik jemput sudah benar. Hmmm ... apa yang kurang yaa?

Kebanyakan, orang akan berubah secara fisik. Paling tidak, mereka akan terlihat lebih dewasa, cara berfikir lebih berwawasan, atau bicara lebih berwibawa. Sovyl tidak berubah. Fisiknya tidak menggendut kayak gue, rambutnya masih tetap hitam engga kayak gue, oiya yaa ... fisiknya berubah. Kulitnya lebih bersih, dan tampangnya lebih segar. Wahh dia kok semakin memuda, bukan menua?

Lalu cerita lancar dari mulutnya, anaknya masih kecil karena terlambat menikah. Gue sempet godain, ‘bini lu dulu murid lu yaaa,’ gitu deh kira-kira. “Noo ... who told you that? She’s a friend of my student. She studied in the university where I teach, but never attended my class,” Ha ha ... woles bro ... nada ngomong gue kayak mengintimidasi, “Lu ngecengin murid lu yaaa?” ha ha ha ... implicitly.

Setelah hari menjelang maghrib, dan gue ngerasa udah harus pulang, tetiba dengan semangat dia cerita,”I will buy Indonesian fruit,” wahh ... baru tahu ada yang nyari makanan segar buat oleh-oleh, biasanya kan kerajinan tangan.

“Oh ya? Durian,” biasanya kan yang terkenal ini ya.”No, the fruit on one of your photographs with your family. I saw it on your facebook,” aduhh ... jadi inge
t apa yang ketinggalan tadi. Biasanya temen-temen suka ngasih oleh-oleh kalo ada yang datang ke sini. Gue
browsing di internet untuk memastikan buah yang sempet gue jadiin objek foto buat gaya-gayaan: salak.

Ahhh ... yes. This is what I mean,” Gue spontan menunjukkan ekspresi berfikir keras. Ya ampun, tukang salak yang biasa jualan di jembatan dekat rumah dah lama ga kelihatan. Banyak tukang buah pinggir jalan, tapi seinget gue udah lama mereka ga jualan salak. Dengan agak manyun-manyun dan sedikit picingan mata, gue berusaha ga kasih dia harapan banyak, ”I’m afraid it is a seasonal fruit, that is difficult to find when it is not the season.” 

Percakapan ternyata masih cukup lama berlanjut. Sampe die jelasin kenapa harus kerja jadi PNS dan ngajar juga di universitas swasta. Apa yang membuat dia merasa nyaman dan ga mau pindah kerja seperti teman-teman yang lain. Kabar pemindahan ibukota Indonesia dan gimana persiapannya, sampai kemungkinan yang terjadi 2 hari yang akan datang saat aksi masa terjadi. Sovyl bahkan bersemangat akan berpetualang malam itu ke China town. Hahh? Ada ya? Gue terang-terangan browsing lagi nyari di mana China town di Jakarta.

Pagi hari, 21 Mei 2019

Ternyata aksi protesnya sudah di mulai sejak tadi malam ya? Ternyata sampai menimbulkan kerusuhan karena ada yang tertembak? Pagi itu, gue nyaris terjebak keributan masa di Stasiun Tanah Abang.

Seperti hari-hari kemarin yang selalu berawal dan berakhir damai, gue naik kereta jam 06.50. Dalam kondisi normal, gue akan sampe stasiun tanah abang paling telat jam 07.35. Cari ojek online, dan sampe kantor jam 07.50. Masih aman.

Ketika keluar stasiun tanah abang, gue mencium bau bau mercon, tapi gue pikir woww kereen ... suasana jadi agak mencekam gitu. Lahh, tapi ... dari JPO antarperon di stasiun, samar-samar kelihatan seperti orang berbaris melebar di jalanan. O .. o .. kayaknya engga keren deh, gue mulai deg-degan. Tapi orang tetap keluar stasiun, dan gue juga langsung dapat ojek daring. Segeralah gue menuju titik jemput biasa di mi ayam bareskrim.

Deggg ... polisi sudah membentuk barikade di seberang sana ... Duh abang ojek ditelepon aja karena perasaan ga enak. ”Halo, Pak. Bapak di mana?” Gue telepon teriak-teriak sambil jalan bergegas ke arah bareskrim.

“Neng … maaf neng … Bapak ga bisa mendekat ke arah stasiun. Diblokade,” suara di seberang sana terdengar panik.

Dan benar saja saat Neng berbelok dari stasiun ke arah bareskrim, dia melihat barikade polisi yang seperti benteng berlapis-lapis itu bergerak maju. Hahh … ga mungkin mendekati abang ojek. Coba deh kalau gitu ke arah Jatibaru …. Waaa … gerombolan masa semuanya pria berpakaian serba putih berhamburan. Ini sih, ga mungkin pakai jalur biasa naik ojek ke kantor. “Pak … maaf ya saya cancel. Saya juga ga bisa ke arah Bapak.”

Akhirnya, gue masuk lagi ke stasiun Tanah Abang, ambil kereta jurusan Depok, turun di stasiun Sudirman, baru naik ojek ke arah Lapangan Banteng. 

Jalurnya melewati hotel tempat Sovyl menginap. Baik-baik saja ga ya dia? Bagaimana proyeknya cari buah salak di sela-sela jeda training-nya?

Petang, 22 Mei 2019

Aplikasi percakapan gue kasih notifikasi pesan baru dari Sovyl. Dia kirim beberapa foto salak dengan price tag sebuah supermarket. “Why are there three kinds of Salak with different price?” Ada salak Madu dengan dua harga berbeda sekitar Rp40 ribuan per kg, dan salak pondoh dengan harga Rp30 ribuan per kg. Gue baru tahu kalau salak bisa semahal itu di supermarket. Padahal biasanya untuk jenis yang katanya sama ya seharga Rp15 ribuan kalau di pasar atau di pinggir jalan. Gue jadi kasih pelajaran varian salak ke Sovyl, sekedar argumentasi mendukung kenapa harganya beda-beda. Sebelumnya, dia cerita makanan di foodcourt mahal-mahal, dan akhirnya makan di pinggir jalan dengan menu ayam bakar seharga Rp35ribu. Biasanya Rp25 ribuan kan ya?

Pengen banget ya dia sama salak? Gue coba merayu suami yang perjalanan menuju dan pulang dari workshop nya melewati pasar. “Tolong ya, Yah. 3 kg aja buat menghilangkan penasaran teman Kamboja ku ini. Kasian dia muter-muter cari salak murah ga dapat.”

Pagi yang hening, 23 Mei 2019

Semua stasiun Televisi terus mengulang-ulang berita yang sama tentang demonstrasi hasil Pemilu. Gue jadi ga bisa membedakan lagi, mana berita baru, fakta, atau peristiwa yang sudah lalu. Jakarta dalam televisi sepertinya masih mencekam.

Justru Sovyl yang terus mengirim kabar update tentang ibukota dari pemberitaan internasional dan media sosial. Padahal saat itu, di dalam negeri sendiri terasa sekali pembatasan media sosial. Bahkan berkirim pesan melalui whatsapp pun bisa terjeda setengah hari.

Tadi malam, setelah mendapat kepastian salak dari suami, gue hubungi Sovyl untuk janjian pagi-pagi sekali sebelum rombongannya ke bandara. 

Turun di stasiun Sudirman pagi itu, suasana berbeda sekali. Biasanya Jakarta jam 6 pagi sudah hiruk pikuk dengan lalu lintas ramai lancar. Jalan Jenderal Sudirman di pusat demonstrasi lengang sekali. Terlihat segerombolan polisi yang duduk-duduk membuka tamengnya, sekedar melemaskan urat kepala.

Kami bertemu juga, ”There you are. I am not sure about its durability. My husband bought it last night.” Gue bawa 5 kg karena kebanyakan belinya dan di rumah hampir ga ada yang doyan salak karena seret. ”Owhh … why too many?” Sovyl kaget juga. Lahh kan dia bisa bagi-bagi ke tetangga ya kalau belum busuk? 

Well you can try now some of them with your friends, and enjoy the remaining wih your family.”

Dia mengangguk setuju. ”Safe flight, bro. I’m so sorry you visit Jakarta when chaos happens. Hope we’ll meet again someday.

Yeaah … It’s become unforgettable. Thank you very much for your coming to see me and for this Salak,” katanya.

Well demi apa juga ya, gue bela-belain mikirin salak buat Sovyl? Sebenarnya lebih ke imej, sih. Jadwal pelatihan yang sudah diatur jauh-jauh hari, tiket dan tempat pelatihan yang sudah dipesan ga mungkin dibatalkan ketika kondisi sebelum berangkat masih sekedar “hangat”. Saat datang, demonstrasi begitu mengkhawatirkan buat pribumi apalagi dia yang orang asing. Lalu, pengalaman mencari makan dengan harga yang di atas kewajaran memberi kesan yang tidak nyaman tentang negeri gue. Jadi, kasih oleh-oleh salak hanya supaya dia ingat ada sedikit kebaikan di antara kesan-kesan tidak mengenakan itu.

Jangan kapok ya, Sovyl. Buah salak sudah semakin banyak sekarang.  



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjernihkan Nurani

Assalaamu'alaikum, Krisna