Postingan

Menampilkan postingan dari 2013

Keajaiban Setiap Hari

Pernah ga setiap pagi, begitu malas bangun tidur? Setelah sholat shubuh inginnya tidur lagi dan bablas ga usah kerja. Itu yang dialami Neng beberapa bulan belakangan ini. Penyebabnya, masa kesibukan di kantornya yang telah lewat. Jadi, bisa saja benar-benar tidak ada yang harus diselesaikannya seharian. Berhari-hari. Bahkan, setelah dia mencari-cari kesibukan sendiri melengkapi database , atau percobaan proyeksi anggaran dengan asumsinya sendiri, bahkan browsing baca-baca peraturan. Lho …? ? ? Kedengarannya ada saja yang dikerjakan? Iya … tapi, selalu cepat selesai. Sementara baca-baca peraturan akan berujung : m-e-n-g-a-n-t-u-k !!! Benar kata Ria, “Rasanya kok sia-sia sekali kalau hampir setiap hari ke kantor hanya absen pagi, duduk manis, melakukan sesuatu hanya untuk menunggu waktu pulang”.   Kalau Ria terobsesi melepas status pegawainya untuk menjadi aktivis yang membuat hidupnya terasa lebih berguna, Neng selalu punya keinginan lain yang sayangnya dia belum bisa menyebut itu o

Kirimkan Saja Alif Doa, Bu

Waktu akan ditinggal ibunya setahun lalu, Alif yang belum genap berusia 7 tahun adalah anak kecil yang sangat bergantung pada ibu. Kegagapannya dalam mengekspresikan rasa sayang kepada sang adik, membuat dia cenderung cengeng dan pencemburu, sehingga kurang cocok dengan ayahnya. Jadilah ibu sebagai pelabuhan kegalauan dan pencurah perhatian buatnya.  Ibu hanya marah besar, sampai kepalanya berasap dan keluar tanduk, kalau Alif tidak mau makan dan susah mandi. Kalau Alif tidak mau sholat, ibu cuma berkata,”Lihat, Kak! Tabungan pahala kakak di pojok kamar sana berkurang banyak sekali”. Dan kadang-kadang sugesti imajinasi ini lebih berhasil daripada gelegar suara tegas sang Ayah. Atau kalau Alif pulang dari sholat berjamaah bersama Rozi di mesjid, sesampainya di rumah dan mencium tangan ibu, ibu dengan ekspresif membentangkan tangannya satu ke atas dan satu ke bawah seolah-olah membawa tumpukan barang yang banyak dan berat. Lalu ibu berkata,”Aduh lihat, kak! Pahalanya banyak sekali

Hidup Di Balik Badminton

Pertama kali terlibat pertandingan badminton dengan para profesional, Neng berpasangan dengan Aki sensee, seorang dosen bahasa Jepang yang sangat ahli menepis serangan bertubi-tubi dari anak-anak muda Indonesia. Walau hanya sekedar berolahraga tanpa tujuan kompetisi, tapi pertandingan itu begitu serius karena smash dilakukan silih berganti.  Neng yang baru kali itu terlibat pertandingan kelas berat, begitu gugup dan sudah merasa tidak bisa sebelum bertanding. Dia teramat takut membuat kesalahan, sampai hampir-hampir tidak pernah berusaha memukul shuttlecock yang sebenarnya ada dalam jangkauannya. Akibatnya, shuttlecock selalu diarahkan ke bagian belakang di mana Aki sensee berada sementara Neng yang ditugaskan menjaga shuttlecock yang jatuh di depan lebih banyak jadi penonton di tengah lapangan. Kejadian seperti itu terjadi juga saat bermain badminton dengan kawan-kawan Indonesia di Odaiba. Sampai beberapa kali terlibat dalam pertandingan, Neng tetap jadi orang yang terkukung per

The Lonely Statue

Gambar
Come and visit me in Odaiba! Along the trip by taking Yurikamome line, you will see an artificial beach with unbelievable beauty. To get to the beach, just get off in Daiba station and feel the sensation of modernized life and its chemistry with natural scenery.  There is a unique statue stands tall there and it looks like the liberty statue in New York. Fenced by green trees in the border of the sea, it’s truly an attracting icon for tourists to keep their memorable moment by taking pictures with this statue. However, I look at this statue as a lonely one. There’s a peaceful sea ahead with a strong lovely Rainbow bridge across it, couples hold hands with cheerful faces, children run and laugh happily, group of people talk and smile to each other, but this statue….? It can only stand there days and nights, sunny and rainy, windy or dried, with no expression, and can’t ever feel that happiness. And the more annoying thing is, it must carry those heavy books in its left hand an

Tempat Kami Melihat Bintang

Rumah yang ditinggali Neng dan keluarga kecilnya sudah tembok permanen meski belum bisa dibilang seindah rumah-rumah di kompleks kelas menengah ke atas di sekitarnya. Rumah warisan orang tua yang berusia 18 tahun itu dulu dibangun dengan tujuan menghabiskan lahan tanpa mengerti unsur estetika. Jadilah bentuk rumah itu bahkan lebih mirip trapesium. Abang, suaminya, sering berujar, " Rumah ini perlu direnovasi. Bukan supaya lebih indah, tapi biar lebih kuat dan bersih ". Abang bilang, sirkulasi udara dan cahaya di rumah ini kurang baik yang jadi pemicu anak-anak gampang kena athsma. Katanya, dinding-dinding rumah ini mulai miring dari posisinya semula yang berbahaya kalau turun hujan dengan angin kencang. Neng juga setuju karena dengan mata awamnya dia bisa lihat dinding di pojok-pojok rumahnya mulai retak yang ukurannya bisa untuk semut keluar masuk. Lalu, jika curah hujan sedikit saja lebih banyak, atap asbesnya sudah tak sanggup menahan curahan air sehingga mengalir ke dal

Di Atas Yurikamome

Ternyata, masa itu datang lagi. Masa-masa Neng merindukan sunyi dan senyap belajar di negeri orang. Walaupun jauh dari keluarga dan perasaan ingin pulang kerap menutupi hati dan otaknya, walaupun harus berlama-lama memutar otak memecahkan soal-soal matematika yang bercampur antara huruf dan angka, walaupun harus mengorbankan waktu bersenang-senang karena harus menyusun tugas essay, dan walaupun harus berinteraksi dengan orang asing, benar-benar asing. Tapi … semua   konsekuensi perjuangan itu diselingi masa-masa indah. Ya … waktu pertama kali menginjakkan kaki di bumi samurai, Neng dan kawan-kawan langsung menuju suatu kota bernama Urasa yang sekelilingnya sawah dan gunung. Bahkan di dekat kampus, ada papan peringatan jangan berani-berani mendekati gunung tersebut karena banyak beruang berkeliaran. Malahan, Neng sempat beradu pandang dengan ular yang langsung membuat kakinya lemas, jantung seperti berhenti berdetak dan kepalanya sakit luar biasa. Tapi selebihnya, Neng mendapat kelu

Mimpi Terindah

Suatu hari,  duduk di teras rumah, Neng memandang pekarangan depan yang tak seberapa luas. Hanya cukup untuk satu meter per segi kolam ikan, menampung dua buah pohon kecapi, sebuah pohon belimbing dan rambutan yang rajin berbuah serta bunga-bunga hias dalam pot-pot mini. Saat itu, matahari baru saja naik sepenggalahan dan Neng baru saja menutup paginya yang sibuk dengan sholat dhuha. Abang, suaminya di kantor, anak-anak sudah di sekolah mereka masing-masing, dan ahhhh... inilah dia, menikmati hidup. Hari itu adalah rangkaian hari-hari saat Neng memutuskan untuk melepas status pekerjanya. Memenuhi panggilan jiwa untuk menjadi istri, ibu dan pengurus rumah tangga yang qonaah , percaya pada kemurahan kasih Tuhan dan ikhtiar suami. Neng membayangkan, Neng lah perempuan paling bahagia di dunia dan akan tersenyum puas, kelak, saat menutup mata. Bagaimana tidak? Nafkah hidup, kesehatan keluarga, pendidikan anak-anak, asupan panganan bergizi, pakaian, listrik, telefon, kendaraan, bahkan bia

Senyap

Seperti lagu Trio Libels, mulanya biasa saja. Performa fisik laki-laki itu yang tinggi, putih, wajah proporsional dengan sedikit jenggot menghias dan kacamata, memancarkan semangat jiwa muda yang idealis adalah hal yang sangat-sangat standar, biasa ia jumpai dan tidak istimewa. Perbedaan divisi membuat mereka hampir tidak pernah berkomunikasi. Sampai suatu saat mereka terlibat dalam satu tim, dan ia terpaksa berkomunikasi dengan lelaki itu. Suaranya lucu, tapi lama-lama terdengar unik. Sikap lelaki itu yang acuh tak acuh menambah daya pikatnya. Sejak saat itu, ada yang aneh pada dirinya. Hatinya berdesir kalau bicara dengan ‘si cuek’ itu dan sedikit kikuk jika bertemu. Perjalanan pulang mempertemukan mereka di omprengan menuju stasiun kereta. Mereka tidak pernah bertatapan, dan ia tak kan pernah berani mencobanya, tidak juga bercakap-cakap. Namun ia merasa radius pandang mereka bertemu pada satu titik nun jauh di sana bagai ekuilibrium dalam kurva permintaan dan penawaran. Dan titik

Orang-orang Beruntung

Pandangan sebagian besar masyarakat, kita, Neng, dalam menilai beruntung   atau tidaknya seseorang kerap berdasarkan kebahagiaan materi yang dimilikinya. Kebahagiaan materi itu pun diukur dengan memposisikan dirinya dalam kebahagiaan materi orang lain tersebut. Misalnya, Neng berfikir pasti bahagia sekali perempuan-perempuan yang tugasnya fully concentrate on mengurus rumah, anak-anak, suami, tanpa harus pusing mencari nafkah selayaknya wanita pekerja yang memiliki dua fungsi. Contoh ekstrem lain ketika salah satu Ncang -nya, panggilan untuk tante dalam budaya Betawi, mengekspresikan kekaguman yang meluap-luap kepada salah satu tetangga mereka yang putrinya menikah dengan majikannya yang orang Australia. ‘Wanita beruntung’ itu kemudian diboyong suaminya ke negeri asalnya dan materi untuk orangtuanya di Indonesia pun tak henti mengalir. Ada juga kawan-kawan Neng, yang telah bersusah payah sekolah di luar negeri, memandang beruntung kawan-kawan lain yang langsung dipromosikan setela

Senyap Kaihimmakuhari

Kaihimakuhari nama tempat di Perfektur Chiba. Neng tidak tahu apakah tempat itu merupakan sebuah shi (setingkat desa) atau ku (setingkat kota). Pokoknya musim dingin tahun itu, dia rutin sekali hampir dua kali seminggu mendatangi tempat senyap itu. Sepanjang perjalanan dengan Kyoei – line dari stasiun Shin Kiba membentang suguhan pemandangan laut Jepang yang indah. Stasiun Maihama yang dilewati kerap menarik perhatiannya. Di stasiun ini lah dia harus turun jika hendak menikmati kemegahan wahana permainan di Disneyland atau Disneysea , Tokyo: l andmark wajib yang menjadi kebanggaan kawannya untuk diunggah di jejaring sosial saat membawa keluarga mereka ke Jepang. Hmmm … will I? Batinnya setiap kali melewati stasiun itu. Tapi Neng selalu menuntaskan perjalanannya hingga akhir tujuan: Stasiun Kaihimmakuhari.   Neng menduga Kaihimmakuhari, kalau ia sebuah kota, adalah sebuah kota yang tidak terlalu besar jika dilihat dari frekuensi lalu lalang kendaraan dan hiruk pikuk orang di j