Tempat Kami Melihat Bintang

Rumah yang ditinggali Neng dan keluarga kecilnya sudah tembok permanen meski belum bisa dibilang seindah rumah-rumah di kompleks kelas menengah ke atas di sekitarnya. Rumah warisan orang tua yang berusia 18 tahun itu dulu dibangun dengan tujuan menghabiskan lahan tanpa mengerti unsur estetika. Jadilah bentuk rumah itu bahkan lebih mirip trapesium.

Abang, suaminya, sering berujar, " Rumah ini perlu direnovasi. Bukan supaya lebih indah, tapi biar lebih kuat dan bersih ". Abang bilang, sirkulasi udara dan cahaya di rumah ini kurang baik yang jadi pemicu anak-anak gampang kena athsma. Katanya, dinding-dinding rumah ini mulai miring dari posisinya semula yang berbahaya kalau turun hujan dengan angin kencang. Neng juga setuju karena dengan mata awamnya dia bisa lihat dinding di pojok-pojok rumahnya mulai retak yang ukurannya bisa untuk semut keluar masuk. Lalu, jika curah hujan sedikit saja lebih banyak, atap asbesnya sudah tak sanggup menahan curahan air sehingga mengalir ke dalam rumah membentuk banyak air terjun mini.

"Aku punya modal awal, kamu tambahin ya", kata Abang diiringi senyum termanisnya yang bisa menggoda bidadari surga berebut turun ke bumi mengerubunginya, tapi engga di mata Neng.

"Alah ... Abang. Biasanya kan yang udah-udah jauh lebih gede tambahannya ketimbang modal awalnya". Neng menyambar dengan raut mulai ditekuk, ga peduli ama bidadari surga yang mulai memberi kipas-kipas angin sejuk di hati Abang.

"Prioritas Neng bukan ke rumah, Bang. Biaya sekolah anak-anak ntar kalo udah gede mahal. Kalo engga kita tabung dari sekarang, susah Bang. Rumah mah yang penting masih bisa ditinggalin, yang bocor ditambel aja dikit-dikit ". Dia mengakhiri kalimatnya dengan menyumpal bakwan yang tinggal satu ke mulutnya. Kalau tidak ada bakwan itu, mungkin kalimatnya ga akan selesai sampai besok pagi.

Tapi Abang orang yang bertekad kuat, kalo engga di bilang nekad. Dia percaya di mana ada kemauan, pasti ada jalan walaupun dia juga belum tahu jalan keluar seperti apa yang akan dia dapat.

Setelah lebaran 2008, Abang cuti dan Neng cuma berfikir dia perlu istirahat di rumah lebih lama. Karena tak ada tanda apa pun, Neng dengan tenang meninggalkannya pergi bekerja.
Sepulang kerja, Abang memberi kejutan dan kali ini benar-benar dia ga suka.
Di depan rumah ada tumpukan pasir, semen, batu bata dan besi- besi bahan cor. Di dalam ruang tamunya sudah berdiri tembok calon partisi yang selalu disebut Abang sebagai penguat dan jalan cahaya.

Tapi Neng tahu kekuatan keuangan Abang, sementara dia benar-benar ga mau tabungan anak-anaknya terpakai.
Kalo Abangnya orang yang optimis meski kadang terkesan nekad, Neng orang yang konservatif dan sulit percaya kalo hari esok akan lebih menjanjikan dengan sendirinya.
Rejeki itu belum tentu datang dengan jumlah yang sama, esok hari. Bahkan dia selalu memperhitungkan inflasi dalam nilai tabungannya. Maklum ekonom tanggung.

Neng bersikukuh tidak membantu Abangnya melanjutkan renovasi rumah dengan tabungan yang ia punya . Ia hanya memberi Rp 200.000,00 ke Abang, "Nih ... aku tambahin. Buat beli semen".
Abang yang sabar menjawab tenang, "Alhamdulillah".

Dalam seminggu, Abang berhasil mendirikan tiga tiang pancang di luar rumah dan empat tiang pancang di dalam ruang tamu. Karena tujuan dari tiang-tiang ini adalah menyangga atap baru yang nantinya berupa cor-coran dan harus lebih kuat, maka tiang-tiang ini berdiri begitu kokoh menembus atap asbes yang menjadi kian rapuh. Berbagai cara ditempuh Abang supaya bagian asbes yang berlubang tidak menyumbang air terjun jika hujan datang.

Proyek renovasi rumah bertujuan mulia ini lama terhenti karena investor utama, Neng, benar-benar tidak tertarik. Abang ga bikin prospektus yang menjelaskan net present value project-nya sih ...
Lalu mereka menyebut proyek ini sebagai proyek monorail karena pilar-pilar itu diam berdiri tegak di sana dan terkatung-katung nasib kelanjutannya.

Memang berkah menjadi orang optimis seperti Abang, karena rejeki itu bisa datang dari arah yang tak terduga meski bukan langsung kepadanya.
Neng dapat sekolah di luar negeri. Jadilah mereka mengatur strategi keuangan dan merancang rencana penyelesaian proyek tiang monorail mereka. Karena Neng Cuma punya kesempatan satu tahun, maka di negeri rantau dia berusaha menabung.
Sementara Abang, jadi tambah rajin mencicil material setiap habis gajian. Bulan pertama semen satu sak, bulan selanjutnya besi 10 biji, seterusnya pasir 1 kol, dan seterusnya ...

Neng akhirnya mengikhlaskan tabungan masa depan anaknya yang pernah membuatnya merasa sebagai jutawan (meski awal dijitnya hanya sekitar angka 7, hahaha ...).
Satu tahun tinggal di kota termahal di dunia tidak bisa membuat target tabungan Neng terpenuhi, apalagi waktu berangkat dia hampir hanya mengandalkan bekalan dari sponsor.
Jadi, Abang dan Neng harus punya prioritas.

Temen-temen Neng yang dari Indonesia, Vietnam, Asia Tengah dan lain-lain gencar bertanya,
"Will you take your family here before you graduate?"
Dengan tegas diiring senyum, Neng menjawab, "No".
Lalu mereka akan berargumen: ini kesempatan emas, memberi pengalaman hidup di negeri orang terutama buat anak-anak, kalau sudah lulus belum tentu bisa ke negeri bertekhnologi maju seperti ini dengan mudah, uang bisa dicari pengalaman hidup cuma sekali, Neng kan bekerja di institusi yang sudah remunerasi, sayang ... akomodasi bisa diatur, biar anak-anak terkesan sehingga mereka bercita-cita sekolah tinggi .... AAAAAAA ... Neng menjerit dalam hati.

Kalian ga tahu sulitnya kami mengumpulkan uang demi memberi tempat bernaung yang layak buat anak-anak kami. Rumah itu lebih penting untuk dasar mereka berkembang. Kalau rumah mereka ga memberi rasa nyaman, mereka akan lebih senang di luaran. Dan itu awal mereka jadi orang-orang jalanan.
Uang bisa dicari, tapi ga datang dengan sendirinya. Rejeki itu perlu usaha yang sering terwujud ga sesuai harapan.
Rumah kami lebih penting! Rejeki buat jalan-jalan di negeri orang bisa difikirkan kemudian! Kalau pun ada sisa uang, buat apa dihabiskan di negeri yang sudah terbelit hutang ini? Mending buat pendidikan.

Tapi sungutan sisnis itu hanya di dalam hati. Ia hanya tersenyum, dan selalu menjawab,
"We have priority". Dengan ekspresi setegas bu Sri Mulyani saat menjawab pertanyaan anggota komisi XI.

*********

Peluh yang tercurah, berjuang terpisah, dan tenaga yang terkuras tidak sia-sia. Meski belum juga jadi istana, tiang-tiang monorail itu sudah hilang berganti menjadi pilar kokoh penyangga atap cor-coran.
Fungsi atap ini bukan hanya untuk menjemur, tapi bisa juga untuk tempat bermain yang relatif aman dan menyenangkan buat anak-anak. Mereka menghiasinya dengan tanaman pot yang serba berbunga dengan indah dan Abang membuat kan kolam kecil di atas atap .

Jika malam tiba, tempat ini jadi favorit Abang dan Neng untuk beromantis ria. Tempatnya yang sedikit tinggi dan terbuka, memberi keleluasaan melihat langit yang begitu memesona. Angin terasa lembut di wajah , Menyejukan hati dan jiwa yang gundah setelah lelah bekerja.
Lalu, jika langit cerah, terlihat bintang-bintang berserakan bagai mutiara. Neng mengajarkan anak-anaknya tentang benda-benda langit penghias malam, sambil tak lupa mengingatkan mereka tentang kebesaran Pencipta segala keindahan itu.
Mereka akan menebak-nebak yang mana Venus? Konstalasi apa yang bisa terlihat dengan mata telanjang? Yang barusan lewat itu meteor atau komet?

Abang dan Neng cuma berharap semoga ijtihad mereka memprioritaskan rumah benar.
Saat ini, rasanya ... menciptakan tempat untuk melihat bintang ini lebih berguna ketimbang menghabiskan puluhan juta di negeri orang. Untuk jalan-jalan.
Orang tua mereka dahulu mengajarkan makna hidup dengan cara yang bersahaja. Mereka sangat berharap, semoga apa yang mereka lakukan sekarang juga berkesan dan mendidik buat anak-anak mereka. Meski dengan cara yang tetap bersahaja.🌾

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjernihkan Nurani

Assalaamu'alaikum, Krisna

Demi Buah Salak