Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Di Bawah Matahari yang Sama

Hari berganti lagi, matahari pagi bersinar hangat seperti biasa. Semua orang punya kesibukan masing-masing di gang sempit kampung itu. Ada yang bersiap sekolah, bekerja, memasak, menyapu, berjualan sayur, belanja. Di antara gerak cepat orang pagi itu menjemput takdir dan mengukir garis kehidupannya, langkah-langkah gontai seorang ibu-ibu gendut menghantar bungkusan mukena kecil kepada bu guru Liza, “Punya Rani ketinggalan”, katanya sambil mengulurkan tangan. Bu guru Liza mengambil mukena dari tangan adiknya itu, nanti dia akan berikan kepada Rani, keponakannya, di kelas 4 SD Islam. Mereka berpapasan dengan Lina yang dibonceng anaknya. Bungsu dari tiga bersaudara itu akan bekerja di kota, setiap hari.  Liza dan Lina saling bertukar senyum, sedikit sekali, terlihat terpaksa. Yang ada di kepala Lina hanya keprihatinan, mungkin sedih, bahkan sedikit kecewa. Ga tahu kalau bu guru Liza. Lihatlah si tengah, Lida, apa yang dia lakukan setiap hari di rumah? Menjadi single parent s

Pulang

Pernah kau lihat film “The One” yang pemeran utamanya Jet Lee? Ketika duplikat yang jahat itu kalah dan terlempar ke dunia dimensi asalnya, raganya seperti tercabik-cabik. Kemudian, si duplikat jahat tersebut berpindah ke ‘alam’ yang entah dimana, harus terus menerus bertahan hidup dari serangan-serangan makhluk asal di ‘alam’ itu. Pernah kau fikirkan hidup mu sendiri untuk apa? Kenapa kau harus lahir ke dunia ini? Apa hebatmu sehingga terpilih mengemban misi ‘khalifah’? Pernah kah pula kau rasa langkah mu sudah gontai, beban yang kau tanggung terlalu berat, jalan hidup yang kau lalui begitu menyulitkan? Segala upaya yang kau lakukan tak kunjung berhasil, ikhtiar dan antasipasi selalu gagal. Sungguh tiada kemampuan lagi menghadapi hari ini yang belum kunjung berakhir dan esok yang masih akan tiba. Ahhh … melankolis sekali kau!! Tapi, begitulah. Lalu kau berkata, “Saya tidak sanggup lagi. Saya tidak meminta untuk terlahir, kenapa saya harus menghadapi kesulitan yang meremukkan tula

NGOMONG POLITIK : Ketika Harus Memasrahkan Negeri Ini di Pundak Pak Kyai

Jumat, 9 Agustus 2018, sepertinya jadi klimaks rasa penasaran masyarakat Indonesia di tahap awal pesta demokrasi 5 tahunan. Betapa tidak? Calon Presiden yang diusung seolah menyajikan pertandingan ulang Pilpres 2014. Pilpres paling sporadis dan mencekam, karena menandakan dimulainya era penggunaan SARA dan ujaran kebencian untuk saling menjatuhkan. Kenapa jadi klimaks? Karena keputusan kedua capres memilih wakilnya sungguh teramat mengejutkan, di luar nama-nama yang sempat santer terdengar. Capres petahana yang pertma mengumumkan, memilih Pak Kyai. Orang terkejut, karena satu nama yang sebelumnya sangat kuat disebut-sebut, bahkan sudah diminta menjahit baju, terlewat. Alasan sang petahana: dia ingin pilpres yang adem, jauh dari isu SARA, yang nyaris sepanjang 4 tahun ini sudah mencabik-cabik persatuan berbangsa dan bernegara. Sampai-sampai, keluar pernyataan dari pentolan kubu petahana ini, politik dengan basis beragama sudah menjadi tren di dunia dan kubu koalisinya ingin mewujudkan

Inspirasi Secangkir Kopi

Mari minum kopi dulu. Saya bukan penikmat kopi, tapi kalau ada yang tanya kopi apa yang saya suka, saya akan bilang,”secangkir arabica dengan sedikit gula”. Biar sedikit masam dan sekadar manisnya melengkapi pahit yang sudah dari sananya. Hmmm … Selera orang beda-beda, sih. Gara-gara seorang kawan menganalogikan penentuan tarif di sektor publik dengan penghitungan harga pokok secangkir kopi, saya jadi penasaran ingin meneruskan membuat analogi tentang bagaimana sebuah kedai kopi mengelola keuangannya. Independen kah pekerja di kedai kopi, yang bukan pemilik, untuk menggunakan penerimaannya untuk langsung memenuhi kebutuhan kedai tempatnya bekerja Jadi begini, kalau duduk di kedai kopi harga terjangkau di kantin, saya berasumsi bahwa kedai kopi itu hanya salah satu outlet pemiliknya. Si Empunya kedai membuka outlet di beberapa tempat. Di situ ada kasir, barista, dan mungkin juga petugas kebersihan yang merangkap jadi pengantar pesanan. Ada peralatan pembuat kopi, pendingin, mes

Semoga Kaga di Gudang

Kepala Emak masih kliyengan pas turun dari ojek daring. Die kaga nyangka kerja jadi guru PNS di daerah kaga bisa leha-leha nikmatin idup. Abis murid-murid pulang sekolah jam 3 sore, bukan berarti bisa lenggang kangkung trus nimbrung gosip ama tetangga. Masih ade tugas nyusun rencana pembelajaran tiap tahun, evaluasi pembelajaran tiap semester, inovasi cara pembelajaran, belom kalo kudu koordinasi di dinas pendidikan kota ato propinsi. Maklum, sekolah tempatnye ngajar jadi percontohan di tingkat kota. Pulang sampe rumah jam 7 malam dan belom sholat maghrib udah kayak kebiasaan sebulan ini aje.  Masih untung ojeg ni hari asli orang Yogya. Lahh, apa urusannye? Iye, jago ngebut dan selap-selip mobil ama bis di jalanan Serpong-Pondok Aren yang rame padet. Tuntutan perut bikin Emak mikir mendingan makan dulu, sepotong ato dua buah iris yang tadi dibelinya. Buat ganjal aje, supaya perutnye kaga ‘nyanyi-nyanyi’ pas lagi sholat. Waktu ‘rebutan’ potongan buah ama si Adek baru aje dimula

I was having a good time 😀

Gambar
Mulanya, saya ga niat nonton Ayat-ayat Cinta 2. Alasan utama, karena aktornya ganteng menurut kriteria saya. Ha ha. Ujung-ujungnya saya takuuuut nanti banding-bandingin dengan ayang mbeib di rumah. Yang kedua, dari cerita AAC yang pertama dulu, konon cerita film biasanya akan dimodifikasi untuk kepentingan konsumsi “selera industri”. Jadi, pesan-pesan idealis sang Penulis yang bisa begitu panjang lebar dan dramatis di buku, harus hilang. Bahkan, ceritanya bisa berbeda sama sekali. Pun, menurut saya, novel yang difilmkan akan sangat membatasi imajinasi saya yang sudah terlanjur terlalu bebas saat membayangkan adegan-adegan di novel Saya membaca novel Ayat-ayat Cinta, tapi tidak sekuelnya. Meski demikian, saya sangat kagum dengan cara Kang Abik menuangkan argumen hadits dan ayat-ayat al Qur’an dalam dialog (di buku2nya yang saya baca, ya). Jadi, saat saya memutuskan nimbrung nemenin kawan SMA saya yang ngebet banget di WAG pengen nonton film ini, saya membekali diri dengan pengetah

PNS Pesanan Emak

“Aku ingin jadi diplomat, Mak. Belajar bahasa asing, biar bisa keliling ke negara-negara lain. Jadi ijinkan aku ikut UMPTN dan ambil jurusan sastra, ya Mak.” Neng sudah kelas 3 SMEA, tapi mata pelajaran pokoknya tidak menarik minat untuk dijadikan profesi yang akan ditekuni di masa depan. Dia sangat menggandrungi bahasa Inggris dan terobsesi dengan pemandangan desa-desa Jepang di kalender. Masuk sastra Jepang jadi harapannya untuk bisa mewujudkan cita-cita melihat dunia luar. “Hmm … boleh. Tapi, coba juga daftar STAN ya. Kamu kan udah di SMEA, jurusan akuntansi. Sayang kalau enggak dicoba.” Emak tidak pernah menyinggung soal keberatan membayar biaya kuliah. Kesulitan mendapat akses belajar ketika kecil, emak sepertinya mendendam bahwa anak-anaknya harus punya kesempatan belajar setinggi-tingginya, di swasta sekalipun. Kakak perempuan pertama Neng kuliah mengambil jurusan manajemen di Unas, kakak perempuan keduanya di LP3I. “Kamu ga mau meringankan beban orang tua? Coba deh m

Reuni

Gue bingung deh, kenapa sih orang-orang senang banget reuni? Kenapa sih orang begitu senangnya mengingat masa lalu … eh elu dulu begini kan? Yaa .. ampun sekarang lo gini banget yaa? Inget ga dulu kita begitu? Ha ha ha … hi hi hi … So what gitu? Trus emang apa yang bisa kita ubah? Kenapa kita seperti terjebak dengan masa lalu? Bentar … bentar .. dulu elo punya pacar ga? Temen ngegank? Guru favorit yang suka kasih elu nilai 8? Engga ada semua sih. Gue dulu judes ama cowok. Boro-boro punya pacar, baru digodain dijodoh-jodohin aja, gue dah menyalak. Gue juga ngerasa minder, cakep engga, jauh dari pinter, ga termasuk orang kaya, bukan atlet, jadi ga pe de ikut-ikutan nge-gank. Boro-boro nilai 8, belajar aja sistem kebut semalam, itu pun bisa terjeda kalo ada Ajax Amsterdam main di Liga Champion. Nonton aksi Jari Litmanen was a must . Heran, lo bisa bertahan dengan cara seperti itu. Pantesan apriori banget lo ama yang namanya reuni. Tapi ya, gue sempat   berdesir pas nerima te