NGOMONG POLITIK : Ketika Harus Memasrahkan Negeri Ini di Pundak Pak Kyai

Jumat, 9 Agustus 2018, sepertinya jadi klimaks rasa penasaran masyarakat Indonesia di tahap awal pesta demokrasi 5 tahunan. Betapa tidak? Calon Presiden yang diusung seolah menyajikan pertandingan ulang Pilpres 2014. Pilpres paling sporadis dan mencekam, karena menandakan dimulainya era penggunaan SARA dan ujaran kebencian untuk saling menjatuhkan. Kenapa jadi klimaks? Karena keputusan kedua capres memilih wakilnya sungguh teramat mengejutkan, di luar nama-nama yang sempat santer terdengar.

Capres petahana yang pertma mengumumkan, memilih Pak Kyai. Orang terkejut, karena satu nama yang sebelumnya sangat kuat disebut-sebut, bahkan sudah diminta menjahit baju, terlewat. Alasan sang petahana: dia ingin pilpres yang adem, jauh dari isu SARA, yang nyaris sepanjang 4 tahun ini sudah mencabik-cabik persatuan berbangsa dan bernegara. Sampai-sampai, keluar pernyataan dari pentolan kubu petahana ini, politik dengan basis beragama sudah menjadi tren di dunia dan kubu koalisinya ingin mewujudkan umara dan ulama bisa berjalan bersandingan (Eva Sundari, TVRI, Agustus 2018). Pernyataan yang cukup membuat dahi berkernyit, mengingat gembar gembor mereka selama ini yang selalu mengawal jargon jangan campur aduk agama dengan politik.

Capres lawannya tak kalah mengejutkan. Setelah santer diberitakan  berhari-hari ada rekomendasi ulama yang mengerucut kepada dua nama ulama untuk dipilih sebagai calon pendamping, nama yang disebut justru seorang pengusaha yang belum lama menjabat sebagai wakil gubernur, dengan kisah yang cukup dramatis di balik keterpilihannya. Yang ketika mencalonkan diri di pilkada, tingkat kepopulerannya masih dianggap kalah dengan pasangan cagubnya yang juga muncul secara tiba-tiba.

Saya pun ikut terkejut, mulanya. Ahh ... Pak Kyai, pewaris nabi, apa yang merisaukan kami pasti juga sangat merisaukan hatinya. Terlihat itu dari air muka beliau yang selalu tenang, cerah karena senantiasa dibasuh air wudhu. Sebutan Kyai tidak datang hanya karena seseorang punya pesantren. Sebutan itu simbol kedalaman ilmu syarah agama,  kedekatan batin dengan Sang Khalik, dan pengayoman kepada santrinya, jamaahnya.

Jadi, Pak Kyai, saya sangat optimis pada pilpres tahun depan. Kalau Yang Maha Kuasa berkehendak Pak Kyai memimpin negeri ini, itu berarti Pak Kyai sanggup mengemban amanah memimpin kami, 200 juta orang yang nyaris kehilangan jati diri dan kekayaan negeri sendiri. Kalau pun ternyata Yang Maha Agung berkehendak lain, tentu doa terbaik Pak Kyai selalu untuk kita, bangsa ini. Semoga Pak Kyai selalu sehat dan dalam lindungan kasih sayang Allah. Semoga bangsa ini juga beranjak sehat dan dan merapat dalam naungan rahmat Allah. 🌾

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjernihkan Nurani

Assalaamu'alaikum, Krisna

Demi Buah Salak