Inspirasi Secangkir Kopi
Mari minum kopi dulu. Saya bukan penikmat kopi, tapi kalau ada
yang tanya kopi apa yang saya suka, saya akan bilang,”secangkir arabica dengan
sedikit gula”. Biar sedikit masam dan sekadar manisnya melengkapi pahit yang
sudah dari sananya. Hmmm … Selera orang beda-beda, sih.
Perumpaan yang terlalu sederhana, sepertinya. Belum
tentu cara berfikir saya benar dan belum tentu orang, yang tahu tentang apa analogi
ini, setuju. Ya sudahlah, mari minum kopi saja.🌾
Gara-gara seorang kawan menganalogikan penentuan tarif di
sektor publik dengan penghitungan harga pokok secangkir kopi, saya jadi penasaran
ingin meneruskan membuat analogi tentang bagaimana sebuah kedai kopi mengelola
keuangannya. Independen kah pekerja di kedai kopi, yang bukan pemilik, untuk
menggunakan penerimaannya untuk langsung memenuhi kebutuhan kedai tempatnya
bekerja
Jadi begini, kalau duduk di kedai kopi harga terjangkau di
kantin, saya berasumsi bahwa kedai kopi itu hanya salah satu outlet pemiliknya. Si Empunya kedai
membuka outlet di beberapa tempat. Di
situ ada kasir, barista, dan mungkin juga petugas kebersihan yang merangkap jadi
pengantar pesanan. Ada peralatan pembuat kopi, pendingin, mesin perekat tutup
gelas plastik, penyimpan air panas, dan lainnya yang kalau secara akuntansi
dikelompokkan sebagai aset tetap. Secara akuntansi, pembelian barang-barang ini
dikelompokkan sebagai belanja modal. Outlet
ini juga punya persediaan gelas plastik, plastik untuk menutup, sedotan,
kopi, gula, susu, dan lain-lain, yang kalau secara akuntansi termasuk
Persediaan. Secara akuntansi, pembelian barang-barang ini, dibebankan sebagai
persediaan atau barang cepat habis.
Kalau ada orang beli kopi, uangnya memang masuk di laci
kasir. Tapi, apa iya dia simpan terus di sana berhari-hari? Bagaimana kalau ada
kecurian, berisiko sekali. Disetor ke rekeningnya sendiri? Wahh … apa
pemiliknya tidak curiga? Oke, anggaplah dalam periode tertentu dia menyetorkan
ke rekening yang sudah ditentukan pemiliknya, sejumlah penerimaan yang diperoleh
dalam periode itu.
Bisa uang itu langsung dipakai? Untuk bayar tenaga kerjanya?
Untuk beli kopi yang habis, gula, susu, pembersih lantai, sekalipun? Bayar
listrik juga, misalnya? Ini kan outlet,
ya. Pemiliknya setiap awal periode sudah menghitung kebutuhannya berapa
kilogram kopi dan gula, liter susu, lusin gelas, bal plastik penutup gelas,
kantong sedotan, termasuk uang pecahan untuk kembalian. Dan jumlah itu yang didrop di setiap outletnya. Dia yang membayar gaji pegawai secara berkala, lembur
sekalipun. Membayar listrik setiap bulan, pun perlengkapan kebersihan.
Lalu, bagaimana kalau perhitungannya meleset? Kopi dan gula
yang dia perkirakan sampai akhir bulan ketiga, ternyata hanya sampai minggu
kedua akhir bulan ketiga itu sudah menunjukkan tanda-tanda kritis. Lhoo, bisa
dong persediaannya tambah lagi. Apalagi, jumlah pembelian di pertengahan
triwulan berarti melebihi hitung-hitungan awal si Pemilik. Apa yang
dibelanjakan dari kelebihan itu? Harusnya sih, si Pemilik akan melihat
kebutuhan operasional kedainya dulu, yaitu tambahan kopi dan gula tadi. Dia
juga mungkin perlu menyisihkan dari uang penjualan itu untuk pemeliharaan
mesin-mesinnya. Kalau memungkinkan, mungkin dia menambah infrastruktur untuk
menarik pelanggan, memasang wifi gratis misalnya. Lhaa … kesejahteraan
karyawan, bonus, gimana? Dia harusnya
memperhatikan hal tersebut sebagai kebutuhan dasar, kinerja, UMR, daya beli,
yang menjadi bahan pemikirannya setiap tahun.
Nahh … dengan cara uangnya
disetor langsung ke rekening pemilik, dan diberi tambahan belanja jika ada
kelebihan penjualan (kalau memang harus ada yang dibelanjakan), pelayanannya tetap jalan kan? Karena,
kebutuhan dasar untuk mengoperasionalkan outlet
itu sudah dipenuhi. Kalau lantas ada pegawai yang bilang, saya ga bisa layani
pembeli karena ga bisa pakai uangnya langsung untuk beli kopi. Lhoo, untuk apa
lagi kan kebutuhannya sudah dimodali? Kalau persediaannya habis tapi target
penjualannya belum dipenuhi, mungkin menghitung perkiraan kebutuhannya yang
perlu diperbaiki.
Bayangkan jika pegawainya langsung menggunakan uang yang
diterima, dan si Bos hanya terima selisihnya. Bisa, sih asalkan orang-orang di outlet diberi kepercayaan dan kewenangan
dari Bos untuk melakukan itu. Hanya saja, si Bos hanya akan menerima selisih, tidak
bisa mengatur prioritas, dengan pertanggungjawaban yang harus dia yakinkan
untuk bisa diterima.
Komentar
Posting Komentar