Inspirasi Secangkir Kopi

Mari minum kopi dulu. Saya bukan penikmat kopi, tapi kalau ada yang tanya kopi apa yang saya suka, saya akan bilang,”secangkir arabica dengan sedikit gula”. Biar sedikit masam dan sekadar manisnya melengkapi pahit yang sudah dari sananya. Hmmm … Selera orang beda-beda, sih.

Gara-gara seorang kawan menganalogikan penentuan tarif di sektor publik dengan penghitungan harga pokok secangkir kopi, saya jadi penasaran ingin meneruskan membuat analogi tentang bagaimana sebuah kedai kopi mengelola keuangannya. Independen kah pekerja di kedai kopi, yang bukan pemilik, untuk menggunakan penerimaannya untuk langsung memenuhi kebutuhan kedai tempatnya bekerja

Jadi begini, kalau duduk di kedai kopi harga terjangkau di kantin, saya berasumsi bahwa kedai kopi itu hanya salah satu outlet pemiliknya. Si Empunya kedai membuka outlet di beberapa tempat. Di situ ada kasir, barista, dan mungkin juga petugas kebersihan yang merangkap jadi pengantar pesanan. Ada peralatan pembuat kopi, pendingin, mesin perekat tutup gelas plastik, penyimpan air panas, dan lainnya yang kalau secara akuntansi dikelompokkan sebagai aset tetap. Secara akuntansi, pembelian barang-barang ini dikelompokkan sebagai belanja modal. Outlet ini juga punya persediaan gelas plastik, plastik untuk menutup, sedotan, kopi, gula, susu, dan lain-lain, yang kalau secara akuntansi termasuk Persediaan. Secara akuntansi, pembelian barang-barang ini, dibebankan sebagai persediaan atau barang cepat habis.

Kalau ada orang beli kopi, uangnya memang masuk di laci kasir. Tapi, apa iya dia simpan terus di sana berhari-hari? Bagaimana kalau ada kecurian, berisiko sekali. Disetor ke rekeningnya sendiri? Wahh … apa pemiliknya tidak curiga? Oke, anggaplah dalam periode tertentu dia menyetorkan ke rekening yang sudah ditentukan pemiliknya, sejumlah penerimaan yang diperoleh dalam periode itu.

Bisa uang itu langsung dipakai? Untuk bayar tenaga kerjanya? Untuk beli kopi yang habis, gula, susu, pembersih lantai, sekalipun? Bayar listrik juga, misalnya? Ini kan outlet, ya. Pemiliknya setiap awal periode sudah menghitung kebutuhannya berapa kilogram kopi dan gula, liter susu, lusin gelas, bal plastik penutup gelas, kantong sedotan, termasuk uang pecahan untuk kembalian. Dan jumlah itu yang didrop di setiap outletnya. Dia yang membayar gaji pegawai secara berkala, lembur sekalipun. Membayar listrik setiap bulan, pun perlengkapan kebersihan.

Lalu, bagaimana kalau perhitungannya meleset? Kopi dan gula yang dia perkirakan sampai akhir bulan ketiga, ternyata hanya sampai minggu kedua akhir bulan ketiga itu sudah menunjukkan tanda-tanda kritis. Lhoo, bisa dong persediaannya tambah lagi. Apalagi, jumlah pembelian di pertengahan triwulan berarti  melebihi  hitung-hitungan awal si Pemilik. Apa yang dibelanjakan dari kelebihan itu? Harusnya sih, si Pemilik akan melihat kebutuhan operasional kedainya dulu, yaitu tambahan kopi dan gula tadi. Dia juga mungkin perlu menyisihkan dari uang penjualan itu untuk pemeliharaan mesin-mesinnya. Kalau memungkinkan, mungkin dia menambah infrastruktur untuk menarik pelanggan, memasang wifi gratis misalnya. Lhaa … kesejahteraan karyawan, bonus, gimana?  Dia harusnya memperhatikan hal tersebut sebagai kebutuhan dasar, kinerja, UMR, daya beli, yang menjadi bahan pemikirannya setiap tahun.

Nahh … dengan cara  uangnya disetor langsung ke rekening pemilik, dan diberi tambahan belanja jika ada kelebihan penjualan (kalau memang harus ada yang dibelanjakan),  pelayanannya tetap jalan kan? Karena, kebutuhan dasar untuk mengoperasionalkan outlet itu sudah dipenuhi. Kalau lantas ada pegawai yang bilang, saya ga bisa layani pembeli karena ga bisa pakai uangnya langsung untuk beli kopi. Lhoo, untuk apa lagi kan kebutuhannya sudah dimodali? Kalau persediaannya habis tapi target penjualannya belum dipenuhi, mungkin menghitung perkiraan kebutuhannya yang perlu diperbaiki.

Bayangkan jika pegawainya langsung menggunakan uang yang diterima, dan si Bos hanya terima selisihnya. Bisa, sih asalkan orang-orang di outlet diberi kepercayaan dan kewenangan dari Bos untuk melakukan itu. Hanya saja, si Bos hanya akan menerima selisih, tidak bisa mengatur prioritas, dengan pertanggungjawaban yang harus dia yakinkan untuk bisa diterima.

Perumpaan yang terlalu sederhana, sepertinya. Belum tentu cara berfikir saya benar dan belum tentu orang, yang tahu tentang apa analogi ini, setuju. Ya sudahlah, mari minum kopi saja.🌾

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjernihkan Nurani

Assalaamu'alaikum, Krisna

Demi Buah Salak