Kebaikan Hati Pemicu Inflasi ??

Judulnya provokatif banget ya? Hahaha ... ini sekedar pengamatan ekonom ala-ala macam Neng atas fenomena teori ekonomi dalam kehidupan sehari-hari. Waktu kuliah, Neng diperkenalkan dengan istilah: cost push inflation dan demand pull inflation, atau secara singkatnya, ada dua pemicu inflasi yaitu kenaikan biaya produksi atau kenaikan permintaan.

Karena inflasi akan jadi sentral pembahasan di curahan hati kali ini, pengertian inflasi perlu dibatasi menurut tulisan ini, yaaa. Jangan dibandingin dengan teori ekonomi betulan, karena namanya juga ekonom ala-ala, belom jadi ekonom betulan. Jadi, kita sama kan dulu pengertian inflasi sebagai kenaikan harga suatu barang dan jasa pada suatu waktu tertentu. Objek pengamatan juga kita batasi, yaaa ... yaitu tarif bajaj dari stasiun tanah abang ke jalan DR. Wahidin Raya.

Tarif bajaj ini fenomena yang mudah diamati dan dicerna karena banyak digunakan, apalagi oleh pengguna kereta yang perlu kendaraan tumpangan dari stasiun menuju kantornya.

Kembali kepada 2 penyebab inflasi menurut teori ekonomi: biaya produksi dan permintaan. Awal masuk kerja di tahun 2000-an, tarif bajaj berawal di besaran Rp10.000,00. Meski terlihat murah, saat itu tetap saja seorang pengguna akan cari 2 orang lagi untuk naik bajaj. Kenaikan harga bbm, perlahan tapi pasti menggeser  kesepakatan (ekuilibrium) tarif bajaj menjadi Rp12.000,00 Rp15.000,00, Rp18.000,00, Rp20.000 dalam kurun waktu 14 tahun. Sudah 2 tahun ini, ekuilibrium bertahan pada harga Rp25.000,00.

Kenaikan harga bisa terjadi menginterupsi ekuilibrium yang sudah stabil ketika permintaan akan jasa bajaj sedang tinggi-tingginya. Misalnya di jam-jam yang mepet dengan jam absen toleransi, sedangkan pengguna tetap memilih bajaj karena menemukan kawan seperjalanan. Tarif bajaj ditanggung bertiga, dengan harga ojek yang sama ditanggung sendiri, kan tetap lebih ekonomis naik bajaj. Disaat ekuilibrium harga Rp12.000,00 misalnya, sopir bajaj akan coba-coba menawarkan Rp15.000,00 dan berhasil. Kan butuh dan buru-buru.

Kenaikan harga biasanya akan tertahan jika konsumen beralih pada barang atau jasa alternatif (substitusi), sehingga permintaan akan jasa bajaj berkurang. Dalam kurun waktu 10 tahun, kenaikan tarif bajaj cenderung lambat. Hal ini karena ada alternatif moda transportasi mobil pribadi yang beroperasi sebagai omprengan. Tarifnya lebih murah karena penumpang yang patungan lebih banyak. Setelah para sopir omprengan satu per satu mengundurkan diri karena tidak punya tempat mangkal, sopir bajaj merasa pesaing berkurang dan sering berhasil melakukan kartel sehingga menaikkan harga. Setelah marak ojek on line, penumpang punya alternatif yang terjangkau ketika terburu-buru. Itu lah kira-kira penyebab dalam  dua tahun tarif bajaj bertahan di harga Rp25.000,00.

Ada saat ketika bensin tidak naik, permintaan juga dalam batas normal, tapi sopir bajaj kompak sekali menawarkan harga lebih tinggi dari ekuilibrium awal. Sepanjang ingatan saya itu terjadi ketika tarif berada pada harga Rp18.000,00. Sebenarnya, kalau bertiga setiap orang cukup patungan Rp6.000,00. Tapi, uang Rp1000,00 saat itu sulit sekali ditemui. Karena setiap orang punya Rp7.000,00 dan tidak ada yang punya Rp1.000,00, semua penumpang sepakat untuk berbaik hati memberi lebihan sehingga masing-masing membayar Rp7.000,00. Mungkin, karena seringnya orang-orang memberi lebih, para sopir bajaj kompak sekali menaikkan harga menjadi Rp20.000,00. Harga ini pun tidak bertahan lama pada bulan puasa, karena tetiba orang-orang jadi murah hati dan kerap memberi lebih, sehingga setiap habis lebaran ekuilibrium harga naik lagi.

Kondisi ini apa yang Neng sebut kebaikan, yang dianggap sebagai sedekah, memicu kenaikan harga atau dalam kerangka tulisan ini disebut inflasi.

Neng mulai berfikir, sedekah kepada sopir bajaj bukan hal yang tepat karena ternyata mereka pekerja profesional. Ketika akan menggunakan jasa bajaj, calon penumpang dan sopir melakukan akad, berupa tujuan dan harga, lalu mereka sepakat. Jika sopir menerima lebih waktu penumpang turun dan ini terjadi berulang kali dalam rute (pasar -pen.) yang sama, bisa jadi insting profesi mereka menangkap bahwa, kesediaan penumpang untuk membayar (willingness to pay) sebenarnya lebih dari yang sudah mereka sepakati. Jadilah kebaikan ini ditangkap sebagai peluang menaikkan harga dan blunder untuk penumpang.

Penyebab tarif bertahan cukup lama bisa jadi tidak hanya ada moda substitusi berupa ojek on line, tapi juga penumpang yang sudah tidak lagi menunjukkan kemurahan dengan memberi lebih. Terkesan hitung-hitungan dan pelit ya? Tapi, ketika perbedaan motif ada di tempat dan waktu yang tidak tepat, apa tidak terfikir tindakan kita menambah beban untuk orang lain? Toh, banyak sarana sedekah yang bisa membuat harta tambah berkah tanpa mengganggu kemampuan maksimal keuangan orang lain. Hahaha ... no offense ya. Namanya juga ekonom ala-ala.

Komentar

  1. Saya jadi ingat seorang teman, Roker juga, yang kesal pada temannya di OJeK yang dianggap merusak harga pasar dan menaikkan infasi karena membayar ojek di atas tarif normal. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mmmm ... sayyyah yaa yang ceritaaaa??? Hahaha ... orang baik hati aja disebut pemicu inflasi ya? Pelit aja kali hihihi.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjernihkan Nurani

Assalaamu'alaikum, Krisna

Demi Buah Salak