Postingan

Menampilkan postingan dari 2014

Menuju Negeri Lambung Mangkurat

Gambar
(Bagian satu) Penting ga sih, perasaan sudah diabaikan setelah memberikan kontribusi total? Halaahhh ... kontribusi sepenting apa sih, sampai merasa harus diperhatikan? Hmm ... kalau soal perasaan diabaikan, namun pada akhirnya ada hikmah yang bisa diambil pelajaran, bisa jadi penting. Mungkin. Petualangan   yang membawa Neng sampai ke negerinya Pangeran Antasari, Banjarmasin, menurut Neng merupakan perjalanan penuh hikmah, perjuangan, dan berakhir dengan panen hasil yang manis: pengalaman. Semua bermula dari penugasan pertama untuk Neng dari Pak Direktur: menulis buku tentang proses penyusunan APBN. Beliau menunjuk seorang kepala seksi untuk membimbingnya dalam proses penulisan buku. Semacam test case buat orang yang baru bergabung dengan tingkat pendidikan pascasarjana, masa kerja 13 tahun, dan golongan Penata. Mungkin. Beliau berargumen penugasan ini supaya Neng bisa lebih cepat belajar dan mengetahui proses kerja di tempat yang baru tiga bulan dia jalani ini. Mmm ... B

Kerja Cari Duit

Hampir   setahun lalu sebelum Ramadhan, Neng duduk manis di pojok lobby gedung OJK. Syukurnya, bukan dalam rangka menunggu giliran wawancara kerja. Heheheh … Saat itu ada tarhib Ramadhan dengan pembicara Bunda Neno yang temanya tentang “Ibu Muslimah yang Bekerja”.   Meski datang agak terlambat karena lokasi keberangkatan yang cukup jauuuuuh, tapi Neng ga ketinggalan saat penting.  Yaitu ketika Bunda Neno berkata,”Ibu-ibu yang dimuliakan Allah, pernah ka h kita mendengar anak kita bertanya,’Mama, kenapa mama harus bekerja?’”   “Lalu kita jawab,’Mama cari uang, Nak. Untuk beli susu ’ ” “Jawaban ini, ibu-ibu, mengajarkan anak kita menjadi materialistis. Ibunya pergi bekerja hanya untuk beli susu”. “Kalau kita niatkan bekerja dengan kesungguhan untuk bersedekah kepada keluarga … ck…ck… Kita adalah pejuang, Ibu-ibu”. Begitu kata beliau. “Jadi, setiap pagi, ketika berpamitan dengan anak kita, bilang bu,’Nak, ibu pamit ya. Ibu mau berjuang dulu’”. Well … meski

Kalau Najib Berulah

"Najib lebih sayang Ibu atau lebih sayang Ayah?" Ibu usil bertanya sambil mengetes pemahaman 'konsep' lebih besar yang sudah dipelajarinya di sekolah. "Aku sayang dua-duanya, Ibu. Aku sayang Ayah sama Ibu", jawab Najib. Hmmm ... cukup diplomatis juga dia. Dan sepertinya Najib sudah mengerti kalau dia memilih untuk lebih menyayangi salah satu orang tuanya, maka akan membuat sedih yang tidak dipilihnya. Hehehe ... iya kah? "Tapi, Ayah sama Ibu suka marah-marah", lanjutnya. Hahaha ... sepertinya ada orang tua yang durhaka di sini. Sudah disayang anak, tapi suka marah-marah? Bahkan, saat mengisi PRnya, apa kesukaan anggota keluarga di rumah? Najib dengan refleks, terus terang, dan mantap menjawab:"kesukaan Ibu adalah mengatur anak-anak". Hehehehe. Beda anak, beda pengalaman batin membesarkannya. Itu yang dirasakan Ibu. Najib sempat begitu menyebalkan ketika masih TK karena berkeras tidak mau ditinggal pengasuhnya di sekolah. Tiga tahun s

Sebebas Burung Camar Terbang

Mendapat beasiswa merupakan kebanggaan dan kebahagiaan. Iya, doong … dari ratusan juta penduduk Indonesia lalu kita yang terpilih apa tidak bangga? Punya kesempatan menimba ilmu, pengalaman baru dan … harapan memperbaiki hidup. Membuat bahagia, bukan?   (:p Tapi, ikatan dinas sebagai konsekuensi beasiswa – to somewhat – seperti belenggu yang mengikat kaki. Kalau   setelah menyelesaikan sekolah dan kembali ke instansi awal lantas diprioritaskan ke jenjang promosi tentu tidak jadi beban. Lain halnya, jika setelah susah payah belajar, kembali ke instansi awal malah terombang-ambing penempatan, setelah penempatan ternyata SDM di unit   kerja menumpuk sehingga ga jelas pembagian kerjanya. Jangankan berharap promosi, beraktualisasi diri saja menuntut kreativitas lebih. Kondisi seperti itu membuat diri seperti ada namun tidak dianggap ada. Jenuh, bosan, jengkel. Atau, kondisi lain, diberdayakan sih iya. Tapi, pekerjaan yang terlalu rutin tanpa rotasi atau mutasi juga menimbulkan kejenu

Tanjung Pandan, Suatu Hari

Gambar
Tentu saja, Neng tahu yang namanya Pulau Belitung dari novel Laskar Pelangi yang dibacanya melalui ‘sorongan’ seorang kawan di tahun 2006. Bertahun-tahun novel itu jadi pembicaraan, Neng masih percaya ga percaya yang namanya Pulau Belitung itu ada. Setelah tahun 2010-an dibentuk provinsi Bangka Belitung, barulah Neng percaya bahwa daerah itu benar-benar ada. Kenapa segitu ga percaya? Yaaa … sulit saja membayangkan di tahun 80-an, setting di novel, ketika Neng sudah bisa menikmati pemandangan gedung-gedung tinggi di Jakarta dari bus tingkat di atas jalan yang mulus, ternyata ada anak-anak di bagian lain wilayah Indonesia yang sekolah saja susah terkendala biaya. Padahal, dari visualisasi di film nya, tempat itu bagaikan surga dengan pantai-pantai elok berombak tenang dan bebatuan besar yang rapi tersusun bak pijakan bidadari kahyangan.   Belum lagi, kehidupan keras yang digambarkan dalam novel itu yang sempat membuat Neng berkesimpulan menjadi terdidik tidak cukup untuk menjadi beru

Gue Orang Pemerintah. Eloe?

Neng ingin tertawa ketika menutup telefon genggamnya. Entah karena lucu, entah karena sekedar ingin menertawakan dirinya. Yang pasti rasanya miris kalau mendengar orang menyalahkan pemerintah, atau membodoh-bodohi pemerintah saat berbicara dengannya. Chotto matte neee … gue kan bagian dari pemerintah.Hehehehe … Gara-garanya, dia ingin tahu jadwal ujian kelulusan sulungnya yang sekarang kelas VI. Dia ingin menyelaraskan jadwal Dinas Luar-nya supaya tidak bentrok dengan jadwal anaknya ujian. Ceritanya kan ingin jadi ibu ideal, bekerja tapi tetap juga membimbing anak belajar   :-p Jadilah percakapan itu,”Assalaamu’alaikum, selamat siang , Cordova”. “Wa’alaikumussalaam, Pak. Mau Tanya, pak jadwal ujian kelas 6 kapan ya Pak?” “Sepertinya kemarin sudah dibagikan jadwalnya, Bu”. “Belum, tuh Pak. Saya baru dapat jadwal sampai dengan try out ”. “Ooo… begitu. Tanggal 19 s.d 21 Mei Ujian Kelulusan, 22 – 23 Ujian Sekolah, bu” “Oke … mmm … Sekarang sistemnya bagaimana sih, Pak? Tidak