Tanjung Pandan, Suatu Hari

Tentu saja, Neng tahu yang namanya Pulau Belitung dari novel Laskar Pelangi yang dibacanya melalui ‘sorongan’ seorang kawan di tahun 2006. Bertahun-tahun novel itu jadi pembicaraan, Neng masih percaya ga percaya yang namanya Pulau Belitung itu ada. Setelah tahun 2010-an dibentuk provinsi Bangka Belitung, barulah Neng percaya bahwa daerah itu benar-benar ada.

Kenapa segitu ga percaya? Yaaa … sulit saja membayangkan di tahun 80-an, setting di novel, ketika Neng sudah bisa menikmati pemandangan gedung-gedung tinggi di Jakarta dari bus tingkat di atas jalan yang mulus, ternyata ada anak-anak di bagian lain wilayah Indonesia yang sekolah saja susah terkendala biaya. Padahal, dari visualisasi di film nya, tempat itu bagaikan surga dengan pantai-pantai elok berombak tenang dan bebatuan besar yang rapi tersusun bak pijakan bidadari kahyangan.  Belum lagi, kehidupan keras yang digambarkan dalam novel itu yang sempat membuat Neng berkesimpulan menjadi terdidik tidak cukup untuk menjadi beruntung keluar dari geliat kemiskinan. Apalagi, pertambangan timah yang menjadi sandaran banyak orang, toh hanya akan meninggalkan luka bumi yang menganga.
Jadi, seperti apa Belitung selain pantainya yang indah?
Tanjung Kelayang
Sejenak dari atas udara sebelum pesawat mendarat, Neng melihat dua atau empat kolam tambang yang menganga. Tapi itu bukan pemandangan mayoritas. Pulau kecil ini masih teduh berselimut hijaunya hutan. Hmmm … syukurlah … bayangan pertama tentang bumi yang menganga terhapus sudah. Menjejakkan kaki di Bandar H.AS. Hanandjoedin – Tanjung Pandan, siang itu Neng dan seorang kawannya agak kebingungan. Kawan Abang yang asli Belitung pernah memberi tahu bahwa transportasi dari bandara ke dalam kota bisa menyewa mobil pribadi secara bersama-sama. Tapi, semua penumpang yang baru turun dari pesawat (yang saat itu hanya satu penerbangan) sepertinya sudah tahu harus ke mana. Di mana omprengan itu memposisikan diri? Yang ada malah seorang pemilik kendaraan pribadi menghampiri dengan menawarkan jasa antar yang harganya wowww … 17 km seharga 100 ribu Rupiah. Harga yang wajar kah? Setelah tawar menawar sengit, dan gagal menghubungi nomor-nomor yang diberikan si Abang dari kawannya yang asli Belitung, mereka yang ibu-ibu kalah.
Mobil yang ditumpangi hanya diisi Neng, sang Kawan, dan pak Sopir, melaju di atas jalan yang mulusssss. Aspalnya licinnnn. Dari tiga hari kunjungannya, Neng tahu bahwa jalan muluss ini juga membentang ke pelosok Belitung, bahkan ke wilayah di mana buaya-buaya air asin biasa bebas berkeliaran. Jalan mulus ini sudah cukup membuat Neng takjub, karena dia terbiasa dengan jalan bergelombang, kasar, berlubang, penuh tambalan, atau terganjal polisi tidur di Tangerang dan Jakarta. Dari pak sopir Neng dapat informasi di Belitong tidak ada angkutan kota alias angkot. Setiap keluarga punya kendaraan pribadi, kalau tidak mobil, ya minimal motor.  Hmmhh … Neng tidak begitu saja percaya. Siapa tahu dia hanya menjaga pasar rental mobilnya.
Tapi, setelah berbincang dengan pejabat di Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Belitung, baru Neng percaya. Angkot pernah digulirkan tapi tidak laku. Karena yaaa … itu, setiap keluarga sudah punya kendaraan pribadi untuk bekerja, untuk ke pasar, apalagi tamasya. Penumpang kebanyakan anak-anak sekolah, itu pun jarang dan jaraknya teramat dekat.
Sekolah di Belitung, bukan barang mewah atau barang langka lagi. Pendidikan sampai SMA gratis .. tis .. tidak ada embel-embel uang gedung, uang buku, uang sukarela. Hanya seragam yang harus dibeli sendiri. Bahkan ketika masih ada program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), Belitung juga punya dan tarafnya saja yang Internasional. Tarifnya? Gratis!!! Kalau ada pungutan, kata sumber tersebut, SMS saja ke Bupati, pasti langsung ditindak.
Begitu juga kesehatan, pengobatan di Puskesmas dan RSUD tidak dipungut biaya. Tapi, Neng tidak bertanya lebih lanjut soal fasilitas dan kualitas pelayanan. Puskesmas di Tangerang Selatan juga gratis, tapi prosedur pengobatannya ‘ala cenayang’ yang tidak banyak observasi fisik seperti pemeriksaan dahak dengan stetoskop bahkan tensi darah. Hanya saja, dari rute bolak-balik  Bappeda-Dispenda-BPKAD-Bappeda yang terletak di ruas jalan berbeda, beberapa kali Neng melewati RSUD yang kelihatannya lengang-lengang saja. Bisa dilihat dari parkiran dan orang-orang yang menunggu di lobi, seperti biasanya terlihat di RSUD Tangerang Selatan.
Dari kelengangan tersebut, Neng menyimpulkan, tidak perlu khawatir dengan kualitas dan fasilitas kesehatan gratis ini karena memang hampir tidak ada penduduk yang memerlukan perawatan lebih untuk kesehatannya. Faktor stres yang banyak bertebaran di Jakarta dan sekitarnya seperti macet, kesulitan ekonomi, polusi udara, tekanan pekerjaan, sangat minim di Belitung bahkan tidak ada.
Macet??? Walau semua memakai kendaraan pribadi, tapi ga ada macet karena penduduknya masih sedikit. Total penduduk kabupaten Belitung pada tahun 2013 sejumlah 172.272 jiwa, bandingkan dengan penduduk Tangerang Selatan yang pada tahun 2012 saja sudah berjumlah 1.405.170 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk menurut BPS Tangsel 3.63 persen. Hutan yang masih hijau dan populasi yang belum padat, memungkinkan udara Belitung masih bersih dan minim polusi.
Faktor ekonomi? Meskipun penggerak ekonomi sudah pelan-pelan mulai beralih ke sektor pariwisata, tapi sebagian besar penopang ekonomi masyarakat Belitung masih dari pertambangan umum penghasil timah. Angkot yang tidak laku, mobil-mobil dengan cat yang masih mengilat, serta bangunan-bangunan rumah yang rata-rata kokoh dan baru, menandakan tak ada orang yang khawatir lagi dengan apa yang bisa dimakan esok hari. Makanan mereka ikan bergizi. Walau harus mendatangkan beras dari Jawa, menurut sumber yang sama, tidak ada orang yang tidak mampu membeli beras.
Hari kedua, Neng dan kawannya menyempatkan melintasi Kampung Nelayan di Tanjung Binga. Neng baru tahu dari sana, bahwa nelayan itu bukan kelompok marjinal. Perumahan mereka rapi tertata, tidak kumuh, kebanyakan dari material permanen, mobil hampir di garasi setiap rumah. Dan, ini yang membuat geleng-geleng kepala: gelang emas tebal nampaknya jadi identitas wajib perempuan nelayan ini.
Teduh di Tanjung Tinggi
Kalau pekerjaan terasa berat secara fisik maupun emosional? Mereka bisa menumpahkan passion dalam wisata laut atau memancing.
Jadi, masih menganggap Belitung daerah –maaf- ‘miskin’? Neng tidak lagi berpendapat seperti itu. Kunjungan yang hanya dua hari efektif itu membuka mata Neng, bahwa pembangunan di sana benar-benar ada dampaknya. Dan,dampak itu benar-benar positif dirasakan masyarakat melalui pendapatan yang layak, pendidikan terjangkau, jaminan kesehatan, infrastruktur yang kokoh, lingkungan bersih, dan akhir dari semuanya adalah hidup yang berkualitas.
Semoga saja, di balik geliat ekonomi dan infrastruktur jalan yang sudah sangat mapan mendukung perkembangan wilayah, keasrian dan suasana penuh damai tetap terjaga. Jangan sampai, promosi pariwisata dan pembangunan menggerus lahan-lahan hijau dan rumah-rumah kerang di pinggir-pinggir pantai Belitung.🌾


Komentar

  1. Balasan
    1. Survei kajian dana bagi hasil ke daerah, mas. ��telat bangett ya jawabnya

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjernihkan Nurani

Assalaamu'alaikum, Krisna

Demi Buah Salak