Menuju Negeri Lambung Mangkurat

(Bagian satu)

Penting ga sih, perasaan sudah diabaikan setelah memberikan kontribusi total? Halaahhh ... kontribusi sepenting apa sih, sampai merasa harus diperhatikan? Hmm ... kalau soal perasaan diabaikan, namun pada akhirnya ada hikmah yang bisa diambil pelajaran, bisa jadi penting. Mungkin.

Petualangan  yang membawa Neng sampai ke negerinya Pangeran Antasari, Banjarmasin, menurut Neng merupakan perjalanan penuh hikmah, perjuangan, dan berakhir dengan panen hasil yang manis: pengalaman.

Semua bermula dari penugasan pertama untuk Neng dari Pak Direktur: menulis buku tentang proses penyusunan APBN. Beliau menunjuk seorang kepala seksi untuk membimbingnya dalam proses penulisan buku. Semacam test case buat orang yang baru bergabung dengan tingkat pendidikan pascasarjana, masa kerja 13 tahun, dan golongan Penata. Mungkin. Beliau berargumen penugasan ini supaya Neng bisa lebih cepat belajar dan mengetahui proses kerja di tempat yang baru tiga bulan dia jalani ini. Mmm ... Baiklah ... Neng merasa terhormat.

Beliau memberi tahu gambaran apa yang diinginkan dari buku tersebut. 
"Buku ini harus menekankan tugas penting Kementerian Keuangan, khususnya DJA, lebih khusus lagi Direktorat kita dalam menyusun  landasan pendapatan dan pengeluaran Negara setiap tahunnya", Pak Direktur bersemangat sekali memberi arahan.

 Kedengarannya misi yang berat.Tugas pertama Neng: membuat outline dari isi buku. Menerjemahkan pemikiran seorang policy maker  tingkat tinggi dengan jam terbang puluhan tahun tidak mudah buatnya. Yang harus dia buat adalah sebuah buku. Dan Neng mengerjakannya secara teknis sendiri. Dari mulai merancang outline, mencari dasar hukum, mencari bahan paparan, dokumentasi contoh surat resmi antar kementerian dan Presiden, menarasikan, dan memastikan bahwa apa yang ditulisnya tidak sekedar mengulang buku sebelumnya yang pernah terbit. Buku pendahulu yang dibuat secara gotong-royong oleh teman-temannya satu direktorat.

Ketika dalam hitungan berminggu-minggu tidak ada kabar perkembangan outline dari Neng, Pak Direktur memutuskan untuk mengganti sosok kepala seksi pembimbingnya. Kalau pembimbing sebelumnya, cenderung senang memberi pengarahan yang membuat Neng bolak-balik memperbaiki outline, pembimbing baru ini lebih senang menyodorkan pekerjaan yang kita mampu dulu supaya memperlihatkan ‘progress’ – kemajuan.

Mencari bahan dan dasar hukum bukan pekerjaan yang mudah. Setiap penulisan tahapan penyusunan APBN dimulai dengan kerangka waktu penyusunan dan matriks hubungan kerja Direktorat dengan institusi lain yang terlibat, apa yang dikerjakan di setiap tahapan, output dari setiap kegiatan tersebut. Mencari data-data ini tidak semudah yang disarankan pembimbing pertamanya dengan sekedar bertanya ke Saudara A di subdirektorat X. Semua sibuk, sementara Neng belum tahu pasti data mana yang paling akhir dan paling akurat yang dia perlukan. Neng merasa tidak bisa berkali-kali bertanya dan mengganggu Saudara A yang tentunya juga sibuk. Dia lalu meminta bocoran username  dan password  dari server Subdirektroat X. Terima kasih kepada Kak Vent yang telah memungkinkan Neng leluasa mengakses server penting itu.

Selanjutnya adalah mencari landasan hukum yang terkait dengan proses penrencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan Anggaran. Jangan sampai ada peraturan perundangan yang luput dari pembahasan. Dari tingkat UUD, UU, PP, sampai KMK, Neng harus melakukan rekonstruksi pola kerja berdasarkan aturan-aturan dari ketentuan yang berbeda-beda itu. Oouchhh .... cukup menantang.

Kebetulan, saat itu tidak banyak tugas rutin yang dibebankan ke Neng. Setelah outline nya disetujui, dia mulai menulis dan terus menulis. Bab I ... Bab II ... Bab III ... sampai Bab V. Yang membuat dia senang, pembimbingnya tidak hanya sekedar melakukan koreksi dan masukan, tapi Kepala Seksi yang satu ini punya strategi supaya pekerjaan kami terlihat selalu ada kemajuan. Dan memang berhasil. Terima kasih, Pak Raden atas kerja sama selama ini.

Koreksi mulai datang dari Pak Direktur, bolak-balik. Sempat terhenti karena kesibukan Beliau membahas APBN di DPR. Menginterpretasikan tulisan tangan beliau sungguh pekerjaan menantang, menyenangkan, exciting! Tambah dasar hukum ini, tambah tabel itu, cari dokumen ini, siapa penanggung jawab output itu, lampirkan dokumen A, B, C, ... M, apa benar proses nya begitu, bagaimana kalau kejadian seperti ini. Woww ... Pengalaman menulis yang luar biasa.

Neng lumayan lega ketika akhirnya dia diminta menyiapkan tiga draft sambutan: tim penulis, kata pengantar Dirjen, dan sambutan Pak Menteri. Buku itu jadi terbit setelah menyeberang tahun, dan Pak Direktur telah promosi ke satu tingkat lebih tinggi. Selamat, Pak Sahri. Meskipun pada tahap penyelesaian akhir menjelang terbit Neng benar-benar tidak terlibat lagi, namun ketika buku itu pada akhirnya dicetak, dia masih merasakan fondasi dan kerangka ‘bangunan’ buku itu adalah ‘sentuhan’nya. Terima kasih, buat Heryal yang sudah jatuh bangun jadi penyelaras akhir, dan Kang Muhe untuk disain sampul nya.

Mannaa namamu?

Memasuki paruh kedua 2014, buku itu di-launch melalui forum bedah buku yang dihadiri oleh Bu Wamen dengan salah satu pembicara Direktur baru kami. Pak Sahri memberikan sambutan, dan dia menjelaskan alasannya kenapa dia selalu ingin menerbitkan buku. Menurut beliau, perlu ada dokumentasi tertulis atas pekerjaan sehari-hari, supaya kalau ‘pelaku sejarah’ terdahulu pergi yang lain punya ‘jejak’ untuk diikuti. Beliau menukil perumpaan pendokumentasian Al Quran ke dalam kitab untuk mengantisipasi para penghafal yang mulai syahid berguguran.

Lalu, apa maksud perasaan diabaikan? Bukankah misi pertama nya akhirnya selesai?
Karena, setelah buku itu terbit dan disebarkan, perannya seperti tidak ada. Di buku itu namanya tertulis sebagai pelaksana teknis, dengan EYD yang salah, pula. Tidak ada kredit, apalagi reward materi atau immateri, bahkan seolah-olah bukan dia yang terlibat langsung menyiapkan bahan baku, alur deskripsi, lampiran-lampiran dokumen negara.

Ketika APBN 2015 selesai disepakati di DPR, Direktoratnya melakukan sosialisasi dan menjadikan buku (yang diakuinya diam-diam) karya Neng sebagai salah satu cindera mata untuk peserta: Surabaya, Padang, Bali, Jakarta I, dan Jakarta II. Setiap staf di enam subdirektorat itu selalu menempatkan perwakilan menjadi panitia sosialisasi. Tapi namanya tak kunjung terpilih. Come on ... be insane ... you’re not that special. “Tak usah bersedih, hasil kerja itu tidak harus selalu berujung dengan pengakuan. Yang penting kamu tahu, kamu punya kontribus”, hibur dirinya, mencoba menyimpulkan intisari satu bab dari buku La Tahzan.

misi pertama, selesai :p
Sampai suatu sore di penghujung bulan Oktober ...
“Mba Neng, tanggal 10 sampai 12 November ada surat tugas, ga?” , Kepala Seksi Subdirektorat penanggung jawab sosialisasi mendekati Neng di samping mesin  foto kopi.
“Wahh ... Saya kurang gaul kali ya, pak. Biasanya nama saya hanya ada di surat tugas subdirektorat sendiri. Kebetulan, tanggal segitu kami tidak ada kegiatan, Pak. Kenapa ya?” Neng mulai gede rasa, tapi dia fikir hanya akan diberi surat tugas pendidikan latihan di Gadog.
“Kalau gitu, kita ke Banjarmasin ya?” Hahhh ???? Neng tak percaya, tapi wajah pak Sanusi serius.

Tawaran itu sangat berharga apalagi datang di saat dia merasa diabaikan. Berita yang membesarkan hati. Meskipun, ketika itu, dia tidak membayangkan bahwa target perjalanannya ke Banjarmasin tidak sekedar menikmati suasana Banjar. Saat itu pula, dia tidak mengira tugasnya menyebar undangan tidak hanya sekedar memperbaiki draft yang sudah ada, meminta tanda tangan pak Direktur, dan menyebar faks.🌾


Ahhh ... nanti dulu lahhh itu ... Sekarang Neng ingin bersyukur dulu akhirnya Allah memberi hiburan. Bahagia membayangkan pengalamannya menjejag bagian lain dari bumi Nusantara bertambah. “Banjarmasin ... tunggu aku datang yaaaaa !!!!”, teriaknya dalam hati .

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjernihkan Nurani

Assalaamu'alaikum, Krisna

Demi Buah Salak