PNS Pesanan Emak

“Aku ingin jadi diplomat, Mak. Belajar bahasa asing, biar bisa keliling ke negara-negara lain. Jadi ijinkan aku ikut UMPTN dan ambil jurusan sastra, ya Mak.” Neng sudah kelas 3 SMEA, tapi mata pelajaran pokoknya tidak menarik minat untuk dijadikan profesi yang akan ditekuni di masa depan. Dia sangat menggandrungi bahasa Inggris dan terobsesi dengan pemandangan desa-desa Jepang di kalender. Masuk sastra Jepang jadi harapannya untuk bisa mewujudkan cita-cita melihat dunia luar.

“Hmm … boleh. Tapi, coba juga daftar STAN ya. Kamu kan udah di SMEA, jurusan akuntansi. Sayang kalau enggak dicoba.” Emak tidak pernah menyinggung soal keberatan membayar biaya kuliah. Kesulitan mendapat akses belajar ketika kecil, emak sepertinya mendendam bahwa anak-anaknya harus punya kesempatan belajar setinggi-tingginya, di swasta sekalipun. Kakak perempuan pertama Neng kuliah mengambil jurusan manajemen di Unas, kakak perempuan keduanya di LP3I.

“Kamu ga mau meringankan beban orang tua? Coba deh masuk STAN. Ga perlu ngekos, kuliah gratis, naik angkot cuma sekali, lulus langsung kerja, jadi PNS pula. Kuliah sastra mau jadi apa?” Kakak pertama berapi-api saat Neng meminta pendapat tentang keinginannya belajar bahasa. Duhh … bukannya biasanya bungsu itu tinggal enak-enak menikmati kerja keras kakak-kakaknya, ya? Kok malah jadi tumpuan harapan? Tapi, baiklah. Demi meringankan beban orang tua, demi masa depan yang lebih pasti, saat itu jurusan akuntansi tampaknya lebih menjanjikan. STAN satu-satunya sekolah punya Negara yang dicobanya, dengan cadangan kuliah di swasta juga jurusan akuntansi. Bye bye sastra Jepang.

Dari sahabat-sahabat baik emak dan keluarga dekatnya, Neng bisa menangkap betapa status menjadi mahasiswi STAN sudah lebih dari cukup membanggakan dan membahagiakan bagi emak yang orang kampung, SD saja tidak tamat, dan buruh rendahan. Lebih dari cukup untuk menyambung cita-cita emak sekolah tinggi yang pupus karena kesenjangan gender di zamannya. Ketika Neng mengeluhkan kecemasan tidak lulus, emak selalu membesarkan hati dan memberi harapan. Emak lalu menceritakan hebatnya Bu Ayik, teman kantor emak, yang sungguh-sungguh sekolah sampai bisa menuntut ilmu ke Australia. “Siapa tahu, kelak kamu juga bisa sekolah ke luar negeri seperti Bu Ayik. Sekarang kamu sabar saja belajar. In syaa Allah, Emak yakin kamu bisa”. Itu menjadi kata-kata magis yang membuat Neng optimis menyambut hari baru setiap musim ujian.

Walau sepanjang kuliah selalu cemas dengan DO, tidak menikmati proses, dan kadang masih ga percaya dia bisa lolos tahun demi tahun, akhirnya Neng meniti karir dan menyandarkan nafkahnya sebagai PNS. Ternyata, meskipun bekerja untuk institusi mentereng yang menyandang nama Keuangan, kehidupan PNS di awal-awal tahun millennium masih memprihatinkan. Dulu, gajian tidak perlu pakai rekening, karena jumlahnya benar-benar hanya cukup untuk pengeluaran sehari-hari. Hebat juga PNS zaman itu, THP Rp1.200ribu untuk yang berkeluarga bisa cukup selama satu bulan. Bapak/ibu pejabat bisa menerima sampai Rp2.500ribu, tapi dengan dipotong cicilan utang koperasi untuk uang muka KPR atau menyekolahkan anak, yang dibawa pulang yaa sama saja, maksimal Rp1.200ribu. Maka, harapan memperbaiki nasib hanya bisa dilakukan dengan pengorbanan biaya juga, yaitu kuliah lagi dan lagi, memperbaiki pangkat dan golongan. Syukur-syukur berpengaruh ke jabatan.

Kuliah S1 bisa di mana saja, cari yang terakreditasi minimal B dengan biaya terjangkau. Tapi, Neng orang yang gengsinya tinggi. Kalau jenuh kuliah di STAN karena dibayang-bayangi DO, minimal dia harus jadi bagian dari the yellow jackets. “Jurusan akuntansi, ya kalau mau kuliah lagi. Lebih spesifik dibutuhkan di sini”. Pesan almarhum Pak Sigit saat bersama makan siang di pantry. Meskipun, dengan penghasilan saat itu Rp900ribu sebulan, Neng harus pintar-pintar mengatur pengeluaran demi menyisihkan uang kuliah yang sejumlah Rp1.800ribu dalam waktu 5 bulan. Belum lagi, mengatur waktu antara bekerja di Jakarta pusat di pagi sampai sore hari, lanjut kuliah di depok sore sampai malam hari, plus mencuri-curi waktu berkerja untuk menyelesaikan tugas kuliah.

Mungkin karena hidup yang sangat pas-pasan sebagai PNS, waktu itu senior-seniornya beramai-ramai mendaftar beasiswa S2. Selain bisa belajar lagi, tambah pengalaman, dan tambah gelar, juga harapan memperbaiki penghasilan melalui uang saku selama tugas belajar, baik di dalam maupun luar negeri. Belum lagi, kesempatan menambah tabungan lewat kerja sampingan kalau dapat beasiswa di luar negeri. Waww mimpinya melihat dunia luar, hidup lagi.

Neng juga mengalami masa-masa prihatin ketika harus antri menggunakan komputer untuk bekerja. Sampai hampir 10 tahun masa kerjanya, setiap eselon 4 hanya mendapat 1 komputer perseorangan, yang pastinya diletakkan di meja si bos. Padahal, staf satu eselon 4 minimal 2 orang. Untuk bisa mengerjakan tugas, maka harus sabar menunggu hajat si bos terhadap komputer selesai dan para senior menyelesaikan telaahannya, itu pun kalau beruntung sebelum jam pulang kantor. Untuk menjaga mood, segala konsep nota dinas atau hasil telaahan laporan keuangan dicoret-coret dulu di agenda, kertas bekas, atau di atas laporan keuangan itu sendiri. Setelah dapat giliran tapi mood keburu hilang, dia tinggal menyalin coretannya. Buku PSAK tebal dan media cetak jadi satu-satunya sumber referensi yang mudah diakses tanpa antri.

Sekarang, setiap karyawan baru sekalipun lumrah punya komputer. Akses informasi mudah dicari lewat internet. Fasilitas menghilangkan kejenuhan pun diberikan, bahkan setiap orang bisa dengan leluasa membuka laman video internet. Neng membayangkan, hasil karya PNS jaman sekarang pasti berlipat-lipat lebih produktif dibandingkan zamannya dahulu antri.

Emak tidak pernah menikmati jerih payah Neng selama menjadi PNS karena, nyaris menjelang UAS terakhirnya di semester 6 berpulang ke hadirat Tuhan. Tapi rasanya, doa emak sudah menaungi seluruh perjalanan hidup Neng yang begitu beruntung menjadi PNS. Termasuk, kesempatan 15 bulan sekolah di Jepang, mewujudkan cita-citanya hidup di dunia luar yang sempat pudar.🌾

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjernihkan Nurani

Assalaamu'alaikum, Krisna

Demi Buah Salak