PNS Pesanan Emak
“Aku ingin jadi diplomat, Mak. Belajar bahasa asing, biar
bisa keliling ke negara-negara lain. Jadi ijinkan aku ikut UMPTN dan ambil
jurusan sastra, ya Mak.” Neng sudah kelas 3 SMEA, tapi mata pelajaran pokoknya tidak
menarik minat untuk dijadikan profesi yang akan ditekuni di masa depan. Dia
sangat menggandrungi bahasa Inggris dan terobsesi dengan pemandangan desa-desa
Jepang di kalender. Masuk sastra Jepang jadi harapannya untuk bisa mewujudkan
cita-cita melihat dunia luar.
Emak tidak pernah menikmati jerih payah Neng
selama menjadi PNS karena, nyaris menjelang UAS terakhirnya di semester 6
berpulang ke hadirat Tuhan. Tapi rasanya, doa emak sudah menaungi seluruh perjalanan
hidup Neng yang begitu beruntung menjadi PNS. Termasuk, kesempatan 15 bulan
sekolah di Jepang, mewujudkan cita-citanya hidup di dunia luar yang sempat
pudar.🌾
“Hmm … boleh. Tapi, coba juga daftar STAN ya. Kamu kan udah
di SMEA, jurusan akuntansi. Sayang kalau enggak dicoba.” Emak tidak pernah
menyinggung soal keberatan membayar biaya kuliah. Kesulitan mendapat akses
belajar ketika kecil, emak sepertinya mendendam bahwa anak-anaknya harus punya
kesempatan belajar setinggi-tingginya, di swasta sekalipun. Kakak perempuan
pertama Neng kuliah mengambil jurusan manajemen di Unas, kakak perempuan
keduanya di LP3I.
“Kamu ga mau meringankan beban orang tua? Coba deh masuk
STAN. Ga perlu ngekos, kuliah gratis, naik angkot cuma sekali, lulus langsung
kerja, jadi PNS pula. Kuliah sastra mau jadi apa?” Kakak pertama berapi-api
saat Neng meminta pendapat tentang keinginannya belajar bahasa. Duhh … bukannya
biasanya bungsu itu tinggal enak-enak menikmati kerja keras kakak-kakaknya, ya?
Kok malah jadi tumpuan harapan? Tapi, baiklah. Demi meringankan beban orang
tua, demi masa depan yang lebih pasti, saat itu jurusan akuntansi tampaknya
lebih menjanjikan. STAN satu-satunya sekolah punya Negara yang dicobanya,
dengan cadangan kuliah di swasta juga jurusan akuntansi. Bye bye sastra Jepang.
Dari sahabat-sahabat baik emak dan keluarga dekatnya, Neng
bisa menangkap betapa status menjadi mahasiswi STAN sudah lebih dari cukup
membanggakan dan membahagiakan bagi emak yang orang kampung, SD saja tidak
tamat, dan buruh rendahan. Lebih dari cukup untuk menyambung cita-cita emak
sekolah tinggi yang pupus karena kesenjangan gender di zamannya. Ketika Neng
mengeluhkan kecemasan tidak lulus, emak selalu membesarkan hati dan memberi
harapan. Emak lalu menceritakan hebatnya Bu Ayik, teman kantor emak, yang
sungguh-sungguh sekolah sampai bisa menuntut ilmu ke Australia. “Siapa tahu,
kelak kamu juga bisa sekolah ke luar negeri seperti Bu Ayik. Sekarang kamu sabar
saja belajar. In syaa Allah, Emak yakin kamu bisa”. Itu menjadi kata-kata magis
yang membuat Neng optimis menyambut hari baru setiap musim ujian.
Walau sepanjang kuliah selalu cemas dengan DO, tidak
menikmati proses, dan kadang masih ga percaya dia bisa lolos tahun demi tahun, akhirnya
Neng meniti karir dan menyandarkan nafkahnya sebagai PNS. Ternyata, meskipun
bekerja untuk institusi mentereng yang menyandang nama Keuangan, kehidupan PNS
di awal-awal tahun millennium masih memprihatinkan. Dulu, gajian tidak perlu
pakai rekening, karena jumlahnya benar-benar hanya cukup untuk pengeluaran
sehari-hari. Hebat juga PNS zaman itu, THP Rp1.200ribu untuk yang berkeluarga
bisa cukup selama satu bulan. Bapak/ibu pejabat bisa menerima sampai
Rp2.500ribu, tapi dengan dipotong cicilan utang koperasi untuk uang muka KPR atau
menyekolahkan anak, yang dibawa pulang yaa sama saja, maksimal Rp1.200ribu.
Maka, harapan memperbaiki nasib hanya bisa dilakukan dengan pengorbanan biaya
juga, yaitu kuliah lagi dan lagi, memperbaiki pangkat dan golongan.
Syukur-syukur berpengaruh ke jabatan.
Kuliah S1 bisa di mana saja, cari yang terakreditasi minimal
B dengan biaya terjangkau. Tapi, Neng orang yang gengsinya tinggi. Kalau jenuh
kuliah di STAN karena dibayang-bayangi DO, minimal dia harus jadi bagian dari the yellow jackets. “Jurusan akuntansi,
ya kalau mau kuliah lagi. Lebih spesifik dibutuhkan di sini”. Pesan almarhum
Pak Sigit saat bersama makan siang di pantry.
Meskipun, dengan penghasilan saat itu Rp900ribu sebulan, Neng harus pintar-pintar
mengatur pengeluaran demi menyisihkan uang kuliah yang sejumlah Rp1.800ribu
dalam waktu 5 bulan. Belum lagi, mengatur waktu antara bekerja di Jakarta pusat
di pagi sampai sore hari, lanjut kuliah di depok sore sampai malam hari, plus
mencuri-curi waktu berkerja untuk menyelesaikan tugas kuliah.
Mungkin karena hidup yang sangat pas-pasan sebagai PNS, waktu
itu senior-seniornya beramai-ramai mendaftar beasiswa S2. Selain bisa belajar
lagi, tambah pengalaman, dan tambah gelar, juga harapan memperbaiki penghasilan
melalui uang saku selama tugas belajar, baik di dalam maupun luar negeri. Belum
lagi, kesempatan menambah tabungan lewat kerja sampingan kalau dapat beasiswa
di luar negeri. Waww mimpinya melihat dunia luar, hidup lagi.
Neng juga mengalami masa-masa prihatin ketika harus antri
menggunakan komputer untuk bekerja. Sampai hampir 10 tahun masa kerjanya,
setiap eselon 4 hanya mendapat 1 komputer perseorangan, yang pastinya
diletakkan di meja si bos. Padahal, staf satu eselon 4 minimal 2 orang. Untuk
bisa mengerjakan tugas, maka harus sabar menunggu hajat si bos terhadap
komputer selesai dan para senior menyelesaikan telaahannya, itu pun kalau
beruntung sebelum jam pulang kantor. Untuk menjaga mood, segala konsep nota dinas atau hasil telaahan laporan keuangan
dicoret-coret dulu di agenda, kertas bekas, atau di atas laporan keuangan itu
sendiri. Setelah dapat giliran tapi mood
keburu hilang, dia tinggal menyalin coretannya. Buku PSAK tebal dan media cetak
jadi satu-satunya sumber referensi yang mudah diakses tanpa antri.
Sekarang, setiap karyawan baru sekalipun lumrah punya
komputer. Akses informasi mudah dicari lewat internet. Fasilitas menghilangkan
kejenuhan pun diberikan, bahkan setiap orang bisa dengan leluasa membuka laman
video internet. Neng membayangkan, hasil karya PNS jaman sekarang pasti
berlipat-lipat lebih produktif dibandingkan zamannya dahulu antri.
Komentar
Posting Komentar