I was having a good time 😀

Mulanya, saya ga niat nonton Ayat-ayat Cinta 2. Alasan utama, karena aktornya ganteng menurut kriteria saya. Ha ha. Ujung-ujungnya saya takuuuut nanti banding-bandingin dengan ayang mbeib di rumah. Yang kedua, dari cerita AAC yang pertama dulu, konon cerita film biasanya akan dimodifikasi untuk kepentingan konsumsi “selera industri”. Jadi, pesan-pesan idealis sang Penulis yang bisa begitu panjang lebar dan dramatis di buku, harus hilang. Bahkan, ceritanya bisa berbeda sama sekali. Pun, menurut saya, novel yang difilmkan akan sangat membatasi imajinasi saya yang sudah terlanjur terlalu bebas saat membayangkan adegan-adegan di novel

Saya membaca novel Ayat-ayat Cinta, tapi tidak sekuelnya. Meski demikian, saya sangat kagum dengan cara Kang Abik menuangkan argumen hadits dan ayat-ayat al Qur’an dalam dialog (di buku2nya yang saya baca, ya). Jadi, saat saya memutuskan nimbrung nemenin kawan SMA saya yang ngebet banget di WAG pengen nonton film ini, saya membekali diri dengan pengetahuan saya yang sedikit tentang gaya kang Abik bertutur di novel nya.

Kerinduan akan Muslim Rahmatan Lil ‘Aalamiin

Yaa ampuun, muluk-muluk amat subheading-nya. Tapi memang itu yang saya tangkap dari novel-novel nya Kang Abik, baik di Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2. Dia ingin figur muslim yang mandiri secara ekonomi, kompeten dari segi keilmuan dan fleksibel dalam bergaul. Mungkin itu kenapa Fahri yang ‘kurang sempurna’ karena tidak menggambarkan sisi kemandirian, diganti dengan figur Azzam yang banting-tulang jadi pengusaha bakso di rantau orang.

Mungkin, itu juga yang ingin dikoreksi dari sosok Fahri, hingga jadilah seorang Fahri di Ayat-ayat Cinta ini sosok yang cerdas secara akademis, pandai pula berbisnis, agamis, santun dan manis. Tanpa wajah ganteng pun, kalau ada orang yang berkepribadian seperti ini, yaaa … jujur aja, tipe saya bangett. Pasti kliatannya udah ganteng ajahh. He he he …

Alasan atas setiap peristiwa

Setelah tahu dari beberapa reviu bahwa Aisyah pergi ke Palestina, sebagaimana terlihat dari teaser-nya, yang jadi pertanyaan sekaligus protes saya adalah: ngapain si Aisyah ke daerah konflik tanpa ditemenin suami?? Penjelasannya memang cuman sekilas saat dia harus kasih tahu Misbah perihal kesendirian Fahri. Aisyah mulanya ingin menenangkan diri dari vonis 2 dokter yang menyatakan dia tidak bisa memberi keturunan untuk Fahri.

Well… kadang, saat kita belum bisa menerima keputusan Tuhan atas diri kita, dan menganggap keinginan kita lah yang terbaik, menenangkan diri bisa jadi pilihan logis. Dan, kebetulan ada tawaran berbuat kebaikan, jadi sukarelawan ke Palestina. Siapa tahu, tindakan ini diridhoi dan bisa membawa keberkahan.

Tapi … yaa … dalam kehidupan nyata, kita juga tahu ga ada yang sempurna. Ada orang yang kita lihat begitu punya banyak keistimewaan, ternyata memendam kesabaran luar biasa atas ujian yang bisa jadi, kita ga akan sanggup kalau menghadapinya.

Memasyarakatkan poligami (?)

Jujur, saya selalu seballl kalau laki-laki selalu menyinggung atau guyon tentang kawin lagi. Tapi, siapa sih muslim yang ga tahu, kalau poligami memang salah satu exit clause dalam Islam? Ga bisa disangkal juga kalau bisa jadi, sebagian masyarakat, belum bisa menerima dengan obyektif poligami sebagai exit clause ini. Sehingga, menggambarkan bahwa kehidupan poligami bisa dijalani dengan rukun, damai, sejahtera, adalah kemustahilan. Jadilah, 2 perempuan yang dinikahi selain Aisyah harus diskenariokan hanya jadi bagian sejarah mereka. Meninggal.

Idealisme Nasihat-menasihati dalam kebaikan

Yaa… itu tadi, dari tiga novel Kang Abik yang saya baca, saya selalu menangkap banyak nasihat yang tidak menggurui dari dialog antartokohnya. Dan satu scene di AAC 2 yang menurut saya, paling berhasil menyentuh nurani terdalam saya (hallahhh) saat Fahri meminta nasihat dari Misbah sebelum memutuskan melamar Hulya. “Nasihati aku, Bah,” pintanya.

“Apa benar semua kebaikan yang kamu lakukan karena Allah? Apa bukan sekedar kamu ingin Allah membalas dengan mengembalikan Aisyah?” Misbah balik bertanya dengan penuh sungkan.
Fahri sering berkata, “aku melakukan ini agar Allah selalu melindungi Aisyah di mana pun dia berada” atau, “aku melakukan itu supaya Allah berkenan mengembalikan Aisyah.” Jadi, yang benar yang mana… untuk Allah atau untuk Aisyah?

Saya benar-benar tersentuh. Karena, dalam menjalani kehidupan yang rasanya sudah teramat panjang ini, amalan saya hanya sebatas ingin Allah berkenan membalas dengan mengabulkan hajat saya. Ingin dapat jodoh, ingin punya anak, ingin punya tempat tinggal mapan, ingin sekolah lagi, ingin lancar sekolah, ingin, ingin, ingin, … Duh Gusti… kapan amalan itu hanya karena ingin Engkau?

Lebay? Tapi poin ini akhirnya membuat mata saya gampang meleleh untuk beberapa scene berikutnya.

Sinematografi membatasi imajinasi

Nahh kaan … akibatnya, debat kusir Fahri dengan profesor Yahudi itu hanya terjadi sebanyak 2 dialog. Padahal mungkiiiiiiin, kalau dituliskan di novel bisa saling tepis argumentasi dengan referensi yang menakjubkan ala Kang Abik. Tapiii … he he he … ga tahu ding, saya kan ga baca novelnya.

Begitu juga, konon penggambaran cacat wajah Aisyah. Ga mungkin, kan menampilkan wajah yang menakutkan sebagaimana korban perang sering mengalami. Maka jadilah, Sabina tetap dengan mudah dikenali sebagai Dewi Sandra yang cantik dengan burqa yang modis.

Fahri di kehidupan nyata?

Saya kok punya ya, gambaran seorang Fahri di kehidupan nyata ini: seorang kharismatik, dalam secara keilmuan, fahim agama, disegani, santun dan netral, pengusaha pula. Di balik kesempurnaan yang Bapak ini miliki (di mata saya), ternyata  Figur ini bertahun-tahun menjalani ujian bersama sang Istri dengan sabar: selama belasan tahun menikah belum dianugerahi momongan. Kalau rumah tangga Fahri (sementara ini(?)) berakhir dengan monogami, keluarga Figur yang tetap saya kagumi ini akhirnya memutuskan untuk menggunakan exit clause halal dalam Islam dan sekarang mereka memiliki momongan dari istri kedua sang Ustaz. Yahh, ga papa Ustaz. Semoga kecerdasan, ketulusan, dan kegigihan Ustaz mensyiarkan fiqh muamalah dapat diwarisi sehingga lebih panjang masanya bermanfaat untuk umat.

Sooo, pada akhirnya, sore itu saya merasa tetap menikmati momentum. Momentum kebersamaan dengan teman SMA, menikmati sejenak me time, daan tetap ada hikmah yang bisa diambil dari having fun saya di dalam bioskop.🌾

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjernihkan Nurani

Assalaamu'alaikum, Krisna

Demi Buah Salak