Pulang

Pernah kau lihat film “The One” yang pemeran utamanya Jet Lee? Ketika duplikat yang jahat itu kalah dan terlempar ke dunia dimensi asalnya, raganya seperti tercabik-cabik. Kemudian, si duplikat jahat tersebut berpindah ke ‘alam’ yang entah dimana, harus terus menerus bertahan hidup dari serangan-serangan makhluk asal di ‘alam’ itu.

Pernah kau fikirkan hidup mu sendiri untuk apa? Kenapa kau harus lahir ke dunia ini? Apa hebatmu sehingga terpilih mengemban misi ‘khalifah’?
Pernah kah pula kau rasa langkah mu sudah gontai, beban yang kau tanggung terlalu berat, jalan hidup yang kau lalui begitu menyulitkan? Segala upaya yang kau lakukan tak kunjung berhasil, ikhtiar dan antasipasi selalu gagal. Sungguh tiada kemampuan lagi menghadapi hari ini yang belum kunjung berakhir dan esok yang masih akan tiba. Ahhh … melankolis sekali kau!!

Tapi, begitulah. Lalu kau berkata, “Saya tidak sanggup lagi. Saya tidak meminta untuk terlahir, kenapa saya harus menghadapi kesulitan yang meremukkan tulang dan menghujam hati ini sementara saya tetap terus bernafas dan hidup?” Lalu, ketika kau fikir hanya mati yang bisa mengakhiri, terdengarlah kabar bahwa mati bukan sebuah akhir, melainkan awal dari babak lain yang amat teramat sangat panjang, berat, menyakitkan, melelahkan. Ke mana? Kata orang-orang pintar, menuju asal kita, pulang.

Keberadaan kita, mungkin, pada hakikatnya adalah perjuangan panjang jiwa ini. Badan hanya kendaraan  untuk mengumpulkan bekal: dari berbuat baik, menjalankan perintah, menjauhi larangan, bersabar, berbaik sangka, demi mencari kepada Siapa sesungguhnya jiwa ini harus kembali. Perjuangan yang sungguh panjang, karena ia tak terhenti hanya dalam kehidupan di atas planet biru nan indah yang kita namakan bumi ini.

Setelah jiwa dilepas kembali dari raga, dengan caranya yang begitu sakit bagai tercabik-cabik, katanya, jiwa ini terus mengembara. Ke alam manakah dia? Mungkin di antara bintang-bintang, sendirian, menjalani kehidupannya yang lain. Beratkah ia, ringankah ia? Kau pernah dengar saat akhir dunia terjadi? Akan bersatu jiwa-jiwa dari ‘alam’ kematian dan yang baru saja tumbang sebab kehancuran bumi. Memulai proses baru, menjalani kehidupan selanjutnya. Penuh cemas, penyesalan, ketakutan. Neraka, kau pasti selalu mendengarnya. Banyak kepedihan di sana, jauh lebih hebat dari kepedihan yang kau rasakan di bumi. Sanggupkah?

Lalu, kau tetap bertanya, “Jadi, untuk segala kesulitan itu diriku ada? Kenapa?”
Kita hidup, memulai perjalanan, menuju rumah asal kita dan Pemilik jiwa ini, raga ini, dunia dan segala dimensinya. Rumah tempat kita berasal itu bersih, suci, dengan hanya kedamaian dan kebahagiaan di sana. Tidak boleh ada benci, dendam, kecurangan, kejahatan. Perjalanan panjang kita dari satu bumi ke ‘bumi’ lainnya itu lah ‘cara’-Nya membersihkan jiwa kita.

Percayalah, Dia Yang Memiliki kita, teramat sayang. Dia membekali kita dengan pelajaran-pelajaran hidup untuk mengasah jiwa ini, menegur jiwa ini, membuatnya sadar siapa dia sesungguhnya: Pengembara yang merindukan pulang. Pengembara yang hanya menginginkan kedamaian. Dengan tempaan dahsyat yang membuat jiwa ini bersih kembali, tidakkah menjadi puncak kebahagiaan saat layak berjumpa dengan Pemilik Jiwa, merasakan kehangatan perlindungan dan sayang-Nya? Tanpa tabir, tanpa tameng.

Jadi, jika tak cukup banyak kebaikan yang mampu kau tegakkan, semoga sabar dan berbaik sangka cukup menguatkan jiwamu. Jika berat kau rasa pelajaran yang harus kau hadapi, semoga senantiasa menyadarkan bahwa kau hanya perlu terus mengingat-Nya agar kau rasakan perlindungan-Nya, kasih sayang-Nya. Di mana pun kau berada, di dunia mana pun kau berpijak.

Bersabarlah, berbaik sangka lah, kita harus pulang. Dan kelak, saat kau menatap secara langsung keagungan-Nya, setelah semua yang jiwamu alami, kau akan merasa teramat sangat bersyukur, jiwamu terpilih menjadi Pengembara itu, Pengembara yang harus pulang. 🌾

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjernihkan Nurani

Assalaamu'alaikum, Krisna

Demi Buah Salak