Senyap Kaihimmakuhari
Kaihimakuhari nama tempat di Perfektur Chiba. Neng
tidak tahu apakah tempat itu merupakan sebuah shi (setingkat desa) atau ku
(setingkat kota). Pokoknya musim dingin tahun itu, dia rutin sekali hampir dua
kali seminggu mendatangi tempat senyap itu.
Sepanjang perjalanan dengan Kyoei – line dari
stasiun Shin Kiba membentang suguhan pemandangan laut Jepang yang indah.
Stasiun Maihama yang dilewati kerap menarik perhatiannya. Di stasiun ini lah
dia harus turun jika hendak menikmati kemegahan wahana permainan di Disneyland atau Disneysea, Tokyo: landmark
wajib yang menjadi kebanggaan kawannya untuk diunggah di jejaring sosial saat membawa
keluarga mereka ke Jepang. Hmmm … will I? Batinnya setiap kali melewati stasiun
itu.
Tapi Neng selalu menuntaskan perjalanannya hingga
akhir tujuan: Stasiun Kaihimmakuhari. Neng menduga Kaihimmakuhari, kalau ia sebuah
kota, adalah sebuah kota yang tidak terlalu besar jika dilihat dari frekuensi
lalu lalang kendaraan dan hiruk pikuk orang di jalan. Tapi, Kaihimmakuhari juga tidak layak disebut desa atau kota kecil
melihat fasilitas gaya hidup yang tersedia. Stasiun modern dengan foodcourt bersih nan teratur menyediakan
ragam pilihan makanan dari Nihonno ryory
(masakan Jepang … cieee pake istilah Jepang) sampai masakan cepat saji ala
Amerika; vending machine berbagai jenis minuman, pusat belanja milik
merk-merk ternama, butik, serta tentu saja lingkungan tertata rapi dan modern.
Mengutip kata seorang teman, “Jepang emang ga ada matinye”.
Titik favorit Neng adalah sebuah taman kecil yang
pohon-pohonnya sudah tuntas merontokkan daun-daunnya di musim gugur lalu. Neng
tidak yakin pepohonan itu adalah pohon sakura, karena semua jenis pohon di
Jepang cenderung akan merontokkan daunnya di musim gugur dan kelihatan ‘tidur’
di musim dingin. Taman itu seolah berwarna abu-abu dalam penglihatan Neng.
Entah karena efek kebekuan musim dingin yang nyaris selalu bersuhu satu digit
di bawa lima derajat Celcius, atau karena retakan hatinya yang sebagian masih
tertinggal di Jakarta saat dia menjenguk sejenak jagoan-jagoan kecilnya.
Bagaimana tidak retak? Dia hanya punya waktu empat
hari melepas rindu dengan perjuangan melalui tiga kota di tiga Negara berbeda sebelum
mencapai Jakarta: Tokyo diJepang, Taipei di Taiwan, dan Hongkong di China. Di
malam tahun baru saat dia seharusnya berbagi keceriaan meniup terompet
keras-keras dan menyaksikan buncahan kembang api di langit Ciledug, dia harus
berkemas kembali karena masa perkuliahan musim dingin segera dimulai sejak
tanggal merah di bulan Januari 2010 berakhir dan itu berarti tanggal 4
Januari. Sementara, tiket pesawat PP dengan harga termurah yang mungkin dia
dapatkan mengharuskannya kembali ke Tokyo tanggal 1 Januari 2010. Ya … iyalah, cuma
tanggal itu yang masih ada kursi kosong. Banyak kursi kosong. Jadilah hatinya
terasa retak, sehingga pandangan matanya menatap seluruh Jepang yang tertutup
musim dingin itu menjadi abu-abu.Abu-abu dan senyap.
Meski abu-abu, taman itu tetap memancarkan
keindahannya dari jalan-jalan setapak yang rapi menuju kelompok-kelompok
pepohonan yang mungkin pada saatnya akan menjadi begitu rindang. Ada ketenangan
juga yang tersirat dari lengangnya. Gerombolan burung Merpati, eh … burung Dara
kah … seakan menyelimuti hati Neng dengan sedikit kehangatan. Satu dua kali ia menyampaikan
salam perkenalan dengan menebar remah biskuit yang tak kunjung habis karena
nafsu makannya terjun bebas.
Sayangnya juga, dia merasa tak punya cukup waktu
untuk sekedar duduk sejenak dua jenak di taman itu. Selain dingin yang
menggigit, dia ingin segera mencari kesibukan: mengumpulkan seakurat mungkin
data-data untuk tugas akhirnya di JETRO. Misi terakhir sebelum dia bisa pulang.
Dia akhirnya melihat sisi positif kecepatan gerak sang
Profesor pembimbing menerima proposalnya. Dalam pertemuan sebelum jeda masa
perkuliahan – yang hanya seminggu – dengan agenda awal perkenalan, Kuwahara
sensee langsung menugaskan untuk memikirkan variable-variabel apa yang akan ia
gunakan, mengumpulkan dataseries selama periode proyeksi, melakukan analisis statistik,
dan mendiskusikan langkah apa yang harus dilakukan jika ternyata data-data itu
berfluktuatif. Setelah sensee dengan bijak menganjurkan (tentu saja itu berarti
menetapkan) model analisa yang lebih sederhana dan memungkinkan Neng lebih mudah
memahami: vector autoregressive.
Huffhhh … Tentu saja saat itu dia merasa, menantang
dingin Kaihimmakuhari akan sangat berharga daripada terjebak dalam ruang 2 x 3
meter di lantai 14 dormitory nya. Di ‘penthouse’ yang menghadap ke teluk Tokyo
dengan pemandangan rainbow bridge
yang anggun dan lintasan yurikamome yang
meliuk-liuk elok itu hatinya selalu merasa hampa. Kehampaan yang lebih terasa
setiap kali dia pulang dari JETRO atau larut malam dari kampus. Dalam kamar dormitory nya itu dia sering merasa
sadar bahwa dia sendiri di ‘negeri di atas langit versinya’ sementara
keluarganya, dengan alas an prioritas penggunaan dana yang terbatas, harus
setia menanti di tanah air. Lalu, dia
bertekad menuntaskan proyek proposal kebijakannya: misi terakhir sebelum dia bisa
pulang.
Maka, Kaihimmakuhari yang senyap lebih menjadi
tempat favoritnya. Neng begitu takjub demi mengetahui gedung tiga lantai yang
begitu luas itu ternyata berisi kumpulan buku-buku dan dokumen-dokumen berisi
data bertahun-tahun dari hampir seluruh Negara berkembang di dunia. Sepertinya
mustahil ada data yang tidak tersedia di sana. Menghabiskan waktu di
lorong-lorong rak buku di JETRO, memilih satu dari rentetan buku tebal berisi kumpulan
data statistik ekonomi dan keuangan Indonesia terbitan Bank Indonesia, khidmat
menyalin data-data tiap kuartal selama sepuluh tahun ke dalam kertas kerja di laptop, sambil sesekali melihat ke luar
jendela, menikmati abu-abu Kaihimmakuhari … hmmm.
Sampai suatu ketika, Neng bingung menentukan variable
tingkat suku bunga bebas risiko yang akan dia gunakan. Sepengetahuannya,
berdasarkan teori, yang digunakan adalah tingkat suku bunga obligasi
pemerintah. Hmmm … is it? Dia putuskan untuk mengirim surat elektronik (e-mail gitu) ke sensee. Jawaban sensee
cukup mengejutkan Neng karena sensee memberi link ke standardized data dissemination system (SDDS) milik Bank Indonesia
(Terkejut karena sensee lebih tahu link itu dari dirinya yang orang Indonesia …
hehehe). Ciamiknya, Neng bisa menjelajah dan mendapatkan semua kebutuhannya di
depan laptop dengan koneksi internet, tanpa harus menambah ongkos jalan-jalan.
Sejak saat itu, setelah selama kurang-lebih dua
bulan yang dingin, Neng merasa putus dengan Kaihimmakuhari dengan kesenyapan
dan pemandangannya yang abu-abu. Aktivitasnya mulai berganti menjadi begitu
statis: dormitory – kampus, kampus – dormitory. Dengan satu tekad yang begitu
kuat, dan ia berjanji tak akan lumer hanya karena terik matahari musim panas:
misi terakhirnya harus tuntas sebelum dia bisa pulang. Bahkan, dia lupa satu
keinginan kecilnya jika musim semi tiba: menjenguk taman Kaihimmakuhari untuk
melihat seperti apa warnanya saat semua sakura telah mekar. Sampai ia diwisuda,
Neng berharap taman itu akan ramai terwarnai pink atau putih sakura. Secerah
warna hatinya di musim semi karena sebagian besar misi terakhirnya hampir
tuntas: dan dia sudah sangat ingin pulang.🌾
Sebuah prosa rectoverso versi kedua dari Dee "Dewi" Lestari-nya Kementerian Keuangan...selamat anda layak dapat bintang...!!
BalasHapusAamiinn ... terima kasih buat support mas Hery sampe si Neng mulai corat-coret di blog yaaa ...
Hapus