Di Atas Yurikamome

Ternyata, masa itu datang lagi. Masa-masa Neng merindukan sunyi dan senyap belajar di negeri orang. Walaupun jauh dari keluarga dan perasaan ingin pulang kerap menutupi hati dan otaknya, walaupun harus berlama-lama memutar otak memecahkan soal-soal matematika yang bercampur antara huruf dan angka, walaupun harus mengorbankan waktu bersenang-senang karena harus menyusun tugas essay, dan walaupun harus berinteraksi dengan orang asing, benar-benar asing. Tapi … semua  konsekuensi perjuangan itu diselingi masa-masa indah.

Ya … waktu pertama kali menginjakkan kaki di bumi samurai, Neng dan kawan-kawan langsung menuju suatu kota bernama Urasa yang sekelilingnya sawah dan gunung. Bahkan di dekat kampus, ada papan peringatan jangan berani-berani mendekati gunung tersebut karena banyak beruang berkeliaran. Malahan, Neng sempat beradu pandang dengan ular yang langsung membuat kakinya lemas, jantung seperti berhenti berdetak dan kepalanya sakit luar biasa. Tapi selebihnya, Neng mendapat keluarga baru. Keluarga yang benar-benar membagi bahagia, tawa, dan masakan alakadarnya. Sebut saja mereka saudara-saudara Urasa. Persaudaraan ini berlanjut sampai Neng harus pindah kota karena universitas tempat dia bersekolah nantinya justru di ibukota negara.
Saudara-saudara dari Urasa ini yang akhirnya memprovokasi Neng untuk menjelajah pesisir Yokohama di tengah himpitan tenggat waktu tugas kuliah. Percaya atau tidak, inilah pertama kali Neng melakukan sesuatu yang disebut ‘spontanitas’ dan mengakui sensasinya sungguh menyenangkan.
Setelah ritme kuliah menurun, tugas akhir sudah sampai metode penelitian dan datanya sudah diyakini pembimbing keandalannya, teman-teman PPI di kampus menyelenggarakan ‘hanami’, duduk di atas tikar di bawah sakura-sakura mekar di taman Ueno. Yeaaayyy musim semi tibaaa, sungguh mata dimanjakan dengan pemandangan pink dan putih sakura di sana-sini. Makan bareng di kantin TIC punya JICA selepas main badminton, dan bereksperimen membuat risoles dan tahu isi untuk potluck atau diskusi sore. Seperti itulah usaha Neng untuk selalu dikelilingi oleh orang-orang perantau senasib dan sepenanggungan.

Lalu ada teman-teman Kamboja yang bersedia di’susupi’ oleh satu-satunya orang Indonesia menikmati spot-spot penting di Tokyo seharian ketika matahari sedang terik-teriknya di bulan puasa musim panas tahun itu dan berbuka puasa dengan makan sushi murah di Shinjuku. Yap, selama berkeliling kota sebelum senja tiba, mereka makan Neng tidak makan. Mereka minum, Neng beristighfar. Tapi mereka meminta izin terlebih dahulu karena tahu Neng harus menjalankan kewajiban. Bahkan saat mereka makan siang di taman Asakusa, Neng menggelar alas di atas tanah dan sholat dalam jangkauan pandang mereka. Hmmm … sungguh hal baru buat mereka dan Neng sangat bersyukur bisa menjalani hidup yang penuh toleransi. Sepertinya, itu yang benar-benar namanya pluralisme. Memahami dalam perbedaan.
Puncak indahnya kebersamaan dengan kawan-kawan Khmer ini adalah berpetualang ke Hakone, merekam panorama hijau dan teduh dengan latar belakang gagahnya gunung Fuji. Naik trem ke puncak gunung, turun dengan gondola, menyeberang danau dengan kapal layar mirip kapal bajak laut. Subhanallah, kesempatan yang bahkan keturunannya pun belum tentu bisa mendapatkan.

Usai Idul Fitri, ketika semua mata kuliah sudah diambil, tugas akhir sudah ditunaikan, tiga pekan menunggu wisuda sendiri tanpa boyongan keluarga, karena (due to money constraint) ada prioritas penggunaan uang yang sudah dia kumpulkan, Neng memaksakan diri mendaftar piknik ke Hokkaido yang konon  katanya murah banget (sepertinya 23.000 yen nett).  Peserta jalan-jalan ini semua dari kampus karena yang mengorganisir mahasiswi pribumi yang ada di kampus. Meninggalkan Tokyo yang panas menuju sejuknya utara Jepang selama tiga hari.

Lalu,  ke mana perginya kenangan masa-masa berat itu? menjadi langganan perpustakaan karena berkali-kali memperpanjang buku tambahan untuk Statistics, Game Theory, Development Economics, dan Econometrics. Terkurung di cubical study room untuk target satu tugas esay selesai sehari. Dan, terpenjara dalam kamar demi mencerna materi ujian yang kadung ia mengerti sedikit saat perkuliahan.
 Dalam rutinitas harian dormitory – kampus – dormitory pun, keindahan itu selalu tersuguhkan. Dari atas Yurikamome, terlihat ketenangan laut di teluk Tokyo yang kadang-kadang bergelombang oleh kapal barang menuju pelabuhan Shinagawa. Rainbow Bridge yang meliuk anggun menyatukan pulau reklamasi Odaiba yang modern dan tertata rapi dengan Tokyo  daratan yang sibuk. Lanskap unik milik Fuji Terebi dengan lingkaran besar di puncak observatorinya di Odaiba dan Nippon Terebi dengan jam raksasa dikawal dua boneka prajurit yang menari setiap jam tertentu di Shiodome. Langit yang cerah, udara bersih, keteraturan. Ahhh siapa yang tak merindukan semua itu?

Hmmm … jadi ingat, seperti saat itu Neng duduk pada posisi membelakangi arah laju Yurikamome. Dia berkata kepada sahabat Kamboja-nya, ”I like sitting here”.
Because … It looks like seeing the life I have now. Every difficulty I face, they would be just memories like the track of this train we left behind”.
Hmmm … is it? Seharusnya iya.🌾

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjernihkan Nurani

Assalaamu'alaikum, Krisna

Demi Buah Salak