Senyap

Seperti lagu Trio Libels, mulanya biasa saja. Performa fisik laki-laki itu yang tinggi, putih, wajah proporsional dengan sedikit jenggot menghias dan kacamata, memancarkan semangat jiwa muda yang idealis adalah hal yang sangat-sangat standar, biasa ia jumpai dan tidak istimewa. Perbedaan divisi membuat mereka hampir tidak pernah berkomunikasi. Sampai suatu saat mereka terlibat dalam satu tim, dan ia terpaksa berkomunikasi dengan lelaki itu. Suaranya lucu, tapi lama-lama terdengar unik. Sikap lelaki itu yang acuh tak acuh menambah daya pikatnya.

Sejak saat itu, ada yang aneh pada dirinya. Hatinya berdesir kalau bicara dengan ‘si cuek’ itu dan sedikit kikuk jika bertemu. Perjalanan pulang mempertemukan mereka di omprengan menuju stasiun kereta. Mereka tidak pernah bertatapan, dan ia tak kan pernah berani mencobanya, tidak juga bercakap-cakap. Namun ia merasa radius pandang mereka bertemu pada satu titik nun jauh di sana bagai ekuilibrium dalam kurva permintaan dan penawaran. Dan titik imaji ini memantulkan gelombang elektromagnetis berkekuatan mahadahsyat ke hati, jiwa dan otaknya.

Oh God, why did I let it happened to me?”, Desah hatinya perih. Bertepuk sebelah tangan lagi. Sepertinya Si Cuek itu sudah berkeluarga. Kalau pun belum, pastilah ia bukan tipenya. Dia pasti mencari wanita sholihah berpenampilan menyejukkan yang berusia di bawahnya tapi berfikiran dewasa. Yang siap menjadi ibu rumah tangga sejati dan menghias rumahnya dengan rasa syukur serta kesabaran.

Jadi, ia lebih memilih menghindar untuk sekedar meredakan gelora rasa di hatinya. Alih-alih berolah raga dan menstabilkan berat badan, ia lebih suka menggunakan tangga dari pada elevator. Ia senang sekali kalau tertinggal omprengan. Dua kali berganti angkutan umum menuju stasiun lebih disukainya, karena akan menyudutkannya dalam kesunyian. Ia akan mengisi waktu dengan menatap langit atau memejamkan mata mencoba tidur. Dalam penghantar tidurnya tentu saja selintas wajahnya datang.

Di stasiun, ia akan berdiri di dekat loket untuk mendengarkan kereta mana yang datang terlebih dahulu. Penumpang lain yang saling mengenal biasanya berkumpul dan bercengkerama membunuh kebosanan menunggu. Kadang ia melihat Si Cuek sendiri. Tapi ia malas bergabung apalagi dengan Si Cuek. Posturnya yang tinggi akan memaksanya mendongak sementara suara Si Cuek akan hilang terbawa angin. Lagi pula ia tak punya percakapan yang sepertinya penting yang layak diperbincangkan dengannya.

Ia akan memilih jenis kereta yang berbeda, kalau pun sama, ia akan mencari gerbong yang berbeda, Kalau kebetulan Si Cuek memilih gerbong yang sama, ia akan menghilang dalam sudut yang berbeda, dalam senyap jiwanya. Di situ ia akan membayangkan Si Cuek di sampingnya dan mereka berbincang seru. Tentang pekerjaan, hobi, cita-cita dan mimpi. Lalu sesekali tangan Si Cuek mendekap pundaknya untuk melindungi ia dari sesak himpitan penumpang, Hihihi...nakalnya.

Tim mereka sudah lama habis masa kerjanya. Tapi perbincangan intens saat-saat itu berakibat sangat lama pada dirinya. Jujur ia menikmatinya, sesuatu yang indah dan ia simpan rapat. Berharap hanya ia dan Tuhan yang tahu, tentang rasa senyap yang sangat disukainya, dan tak bisa ia katakan apakah itu cinta...🌾




Komentar

  1. Tentang siapakah...?
    Tentang Kaliankah...?
    Sebuah pengakuan atau penyesalan yang tak berakhir...?

    Yang pasti bagus banget prosanya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalo mau belajar jadi penulis, kataaaanyaaa, harus belajar berimajinasi. ;)

      Hapus
  2. Setuju Jie...tapi kamu dah melewati batas imajinasi...hehehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjernihkan Nurani

Assalaamu'alaikum, Krisna

Demi Buah Salak