Mimpi Terindah

Suatu hari,  duduk di teras rumah, Neng memandang pekarangan depan yang tak seberapa luas. Hanya cukup untuk satu meter per segi kolam ikan, menampung dua buah pohon kecapi, sebuah pohon belimbing dan rambutan yang rajin berbuah serta bunga-bunga hias dalam pot-pot mini. Saat itu, matahari baru saja naik sepenggalahan dan Neng baru saja menutup paginya yang sibuk dengan sholat dhuha. Abang, suaminya di kantor, anak-anak sudah di sekolah mereka masing-masing, dan ahhhh... inilah dia, menikmati hidup.

Hari itu adalah rangkaian hari-hari saat Neng memutuskan untuk melepas status pekerjanya. Memenuhi panggilan jiwa untuk menjadi istri, ibu dan pengurus rumah tangga yang qonaah, percaya pada kemurahan kasih Tuhan dan ikhtiar suami. Neng membayangkan, Neng lah perempuan paling bahagia di dunia dan akan tersenyum puas, kelak, saat menutup mata. Bagaimana tidak?
Nafkah hidup, kesehatan keluarga, pendidikan anak-anak, asupan panganan bergizi, pakaian, listrik, telefon, kendaraan, bahkan biaya untuk memanjakan diri ke salon telah difikirkan sepenuhnya oleh Abang, suaminya. “Itu tugasku, sudah saatnya...” katanya.
Setelah selesai dengan tugas domestik, Neng bisa ke salon, belanja, jogging keliling kampung atau ke taman kota terdekat, atau cari ilmu lagi, semua atas opsinya, kemauannya, pilihannya sendiri.

Tidak seperti dulu saat Neng masih harus bekerja. Saat itu, penghasilan suaminya jauh dari cukup untuk menutupi kebutuhan primer mereka. Jadilah Neng, harus berlapang dada mengambil alih tugasnya sebagai tulang punggung keluarga.
Berusaha bangun jam empat pagi, memasak dengan setengah sadar (dan dia tak kunjung pandai dalam hal ini). Kadang harus mendengar makian Abang karena dia lalai membiarkan wajan berminyak kepanasan di atas kompor gas menyala. Semua kegiatan pagi hari  disambi ini dan itu : menyiapkan pakaian sendiri, bekal sekolah anak-anak, dan tak boleh lupa menyisipkan jatah uang jajan untuk mereka. Abang tidak mau ada pembantu yang menginap, jadi Neng harus mengerjakan tugas pagi-pagi ini sendiri. Puihh...sepertinya mudah. Tapi, demi seringnya dia dengar sumpah serapah akibat wajan kepanasan, percayalah : paginya selalu berantakan dan cukup membuat Neng selalu siap ke kantor pada saat-saat yang genting.

Selesai berpacu dengan tugas domestik, Neng berpacu mengejar jadwal kereta. Bekerja dan bersiap pulang ke rumah. Begitu setiap hari kerja. Perjalanan pulang bukan tanpa perjuangan. Jika Neng naik kereta express, Neng akan setengah mati capek berdiri karena tertahan kereta diesel sebelumnya. Demi mengejar lebih cepat sampai rumah, dia sering nekat naik kereta diesel dengan tujuan akhir rangkas bitung. Neng harus menerobos masuk dan terhimpit berdesakkan di dalam. Rasanya seperti dijepit dinding manusia. Gelap, sesak, kurang oksigen, bau keringat bercampur asap rokok. Tuhan...tulangnya terasa remuk. Begitu dia alami hampir lima hari seminggu, empat pekan sebulan, dua belas bulan selama lebih dari tujuh tahun, bahkan dalam keadaan hamil pun.
Sampai di rumah, dia bahkan tidak bisa langsung makan atau mandi. Neng harus merapikan pakaian yang telah disetrika pembantunya, manyiapkan jadwal pelajaran anak-anak, memastikan pintu-pintu terkunci, mengawasi anaknya belajar atau menyelesaikan PR, sebelum tidur – setelah mandi, makan, dan main kuda-kudaan – Neng harus membacakan buku cerita untuk anaknya. Sering kalimatnya kacau karena ketiduran. Kasihan Neng, bahkan untuk mendengar kisah anaknya apakah dia bahagia hari itu, Neng tidak sempat.

Tapi tidak lagi sejak hari itu...
Sejak dia temukan dirinya yang lain. Abang yang sadar bahwa dialah yang seharusnya melindungi Neng, sebagai bagian dari keluarganya. Faham bahwa dialah yang seharusnya mencukupi kebutuhan keluarga sebagai kepala keluarga.

Sejenak dipejamkan matanya, membayangkan ini terjadi selamanya. Sampai anak-anak mereka mandiri. Dan Neng membayangkan ini bukan mimpi, kalaupun mimpi dia tak ingin bangun selamanya. Neng sudah lelah, jenuh. Tidakkah cukup yang dia lakukan sebagai bukti dia mencintai keluarga ini? Dan cukup sudah... Neng tak akan membuka matanya, karena Neng tak mau ini hanya mimpi.🌾

Komentar

  1. Bukan lagi saatnya hanya menikmati mimpi Jie...karena kamu punya sesuatu untuk mewujudkannya, maka ayo bangunlah dan gapai mimpi itu dengan apa yang kau miliki...

    Yakinlah

    BTW entah ada apa hingga ada 3 tulisan bagus dalam seminggu...sebuah pencerahan telah hadirkah...?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjernihkan Nurani

Assalaamu'alaikum, Krisna

Demi Buah Salak