Keajaiban Setiap Hari

Pernah ga setiap pagi, begitu malas bangun tidur? Setelah sholat shubuh inginnya tidur lagi dan bablas ga usah kerja. Itu yang dialami Neng beberapa bulan belakangan ini. Penyebabnya, masa kesibukan di kantornya yang telah lewat. Jadi, bisa saja benar-benar tidak ada yang harus diselesaikannya seharian. Berhari-hari. Bahkan, setelah dia mencari-cari kesibukan sendiri melengkapi database, atau percobaan proyeksi anggaran dengan asumsinya sendiri, bahkan browsing baca-baca peraturan. Lho …? ? ? Kedengarannya ada saja yang dikerjakan? Iya … tapi, selalu cepat selesai. Sementara baca-baca peraturan akan berujung : m-e-n-g-a-n-t-u-k !!!

Benar kata Ria, “Rasanya kok sia-sia sekali kalau hampir setiap hari ke kantor hanya absen pagi, duduk manis, melakukan sesuatu hanya untuk menunggu waktu pulang”.  Kalau Ria terobsesi melepas status pegawainya untuk menjadi aktivis yang membuat hidupnya terasa lebih berguna, Neng selalu punya keinginan lain yang sayangnya dia belum bisa menyebut itu obsesi. Di Rumah Aja.
Apa salahnya sih kalau perempuan di rumah saja dan tidak harus merasa berkewajiban membantu mencari nafkah? Tugas di rumah juga tak kalah mulia kan? Memasak, mencuci, membersihkan rumah, terutama menjadi guru dan pendidik buat anak-anak. Kedengarannya saja yang tidak keren buat masyarakat modern yang hedonis seperti sekarang ini.  Bayangkan dengan kondisi yang sekarang di jalaninya: siang dia di kantor, browsing; anaknya sepulang sekolah, main seharian. Di buku penghubung ada pesan bu Guru materi-materi yang harus diulang. Sampai di rumah, Neng sudah lelah, anaknya pun  kehilangan gairah. Dengan sisa-sisa kekuatan mereka duduk di depan meja belajar paling lama 30 menit. Tidak bisa setiap hari. Kalau begini, bagaimana anak-anaknya bisa unggul?
“Anak-anak bangga Ibunya bekerja”.
“Nanti kamu bosan kalau di rumah saja”.
“Bisa nrimo ga dengan kemampuan suami yang ‘segitu’ saja?”
Semua kemungkinan itu sih Neng bisa mengatasi. Tapi ada satu yang sulit hilang dari fikirannya:
“Kalau suami ku ditakdirkan ‘pergi’ lebih dulu dalam kondisi aku ga bekerja, lalu aku harus bagaimana cari nafkah?”
Ini jawaban sahabat-sahabatnya:
“Kalau gitu mba, mulai merintis jualan online  saja”.
“Bekali diri dengan keterampilan sejak sekarang”.
“Ngajar dong, mba. Kan lulusan S2”.
“Jadi penasihat keuangan”.
Hufh … kedengarannya kok tetap seperti perempuan yang harus pontang-panting membagi perannya di rumah dan mencari nafkah. Apa bedanya dengan sekarang?
Karena sepertinya akan sama saja dia harus membagi peran, jadi Neng tetap bertahan dengan hari-harinya itu. Kalau sore sudah tiba, dan waktunya absen pulang,  senaaang sekali. Bisa melalui setiap hari sampai waktunya pulang sudah seperti keajaiban buat Neng. Yap … begini dulu saja, Neng. Jalani yang bisa kau jalani.  (^_^)🌾

Komentar

  1. Jalani Saja...toh sejatinya yang kamu lakukan adalah "sekedar" membantu nafkah kelurarga...atau kalo mau terjun...terjun aja sekalian sebagai wanita karir sejati Ji...tinggal pilih...gak ada yang buruk asal dilakukan dengan niatan yang baik...amiiiin.

    BalasHapus
  2. Aamiin, ya Rabbal 'aalamiin. Belajar dan terus belajar bersyukur, nih mas. :D

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjernihkan Nurani

Assalaamu'alaikum, Krisna

Demi Buah Salak