Izin
"Di dunia ini, tidak ada yang bisa terjadi tanpa izin dari Tuhan".
Satu kalimat itu begitu sakti, ia menyadarinya karena segala sesuatu di jagad raya ini dalam kendali Tuhan. Yang sulit ia fahami adalah, bagaimana mendapatkan izin Tuhan untuk mendapatkan keinginannya? Keinginan, yang menurut keyakinannya mulia. Dulu, dia kerap menangis 'membujuk' Tuhan, bahwa ia membutuhkan apa yang dia inginkan. Tapi belakangan, ia mulai mengerti perwujudan keinginan itu hanya masalah waktu: kapan Tuhan mengizinkannya untuk mendapatkan.
Tahun 2006, betapa dia ingin mendapatkan beasiswa. Ikhtiar memperbaiki kesejahteraan, mewujudkan impian masa kecil ke Jepang, dan gengsi tentunya. Susah payah dia melewati 5 tahapan seleksi beasiswa yang dimulai dengan menulis proposal riset idealis dengan data yang masih meng'awang-awang'. Setelah melewati semua ujian dan menyelesaikan kursus persiapan bahasa Inggris, hanya 2 pekan sebelum keberangkatan, saat mendaftar visa, dia direkomendasikan institusinya bekerja untuk mengundurkan diri karena: hamil. Sedih, kecewa, malu, tapi dia tetap berusaha bahagia melanjutkan hidupnya.
Tiga tahun kemudian, dia mengumpulkan seluruh semangat, mimpi dan kepercayaan diri untuk mengejar beasiswa lagi. Kali ini lebih realistis: hanya sebagai ikhtiar memperbaiki kesejahteraan. Akhirnya, dia bisa berangkat meskipun harus mematikan nuraninya saat harus meninggalkan anaknya yang berjuang melawan DBD. 15 bulan kemudian, dia pulang membawa ijazah dan foto wisuda. Bisa menemani lagi anaknya mengerjakan PR sekolah.
Kalau dulu waktu masih gadis, dia sering ditanya "Kapan nikah?" setelah berhasil sebar undangan, pertanyaannya jadi, "Kapan punya anak?", sudah bawa momongan masih ditanya, "Kapan nambah gendongan?" Kalau dalam kondisi bekerja pertanyaannya, "Kapan sekolah?" sudah lulus kemudian dicecar, "Sudah promosi?". Lama-lama, dia terpengaruh juga. Bahkan, saat di'langkahi' juniornya promosi duluan, dia menjadikan itu sebuah tanda bahwa dia tidak cocok di organisasi itu, sehingga saat reorganisasi terjadi dia memutuskan pindah.
Di organisasi baru, dia merasakan menempatkannya di posisi yang tepat untuk promosi seperti mencarikan jodoh. Pak Bos sampai menghubungi kantor lamanya untuk meng'intervensi' supaya dia dan satu kawannya bisa dicalonkan. CV yang dibuatnya beberapa kali direvisi. Dia ditugaskan dalam proyek-proyek individu dan kelompok supaya ada peran menonjol untuk di'banggakan' dalam daftar riwayat hidup. Hasilnya, nihil dan tidak berhasil lagi dan lagi. Tiga tahun setelah kepindahannya, dia baru dapat 'jodoh' itu pun setelah dia diwawancara apakah bersedia promosi di unit sebelah. Unit yang pekerjaannya masih gelap sama sekali. Demi melihat upaya Pak Bos mencarikannya 'jodoh' dan masih banyak adik-adiknya yang cerdas dan berpendidikan tinggi antri di belakangnya, dia kesampingkan takut dan cemas lalu berkata,"Ïya, saya bersedia."
Ketika memutuskan pindah saat reorganisasi, dia siap me'langlang' nusantara, sebenarnya. Tapi para pembuat keputusan mempertimbangkan dia masih punya anak kecil. Di tahun 2018, ada program pindah lintas eselon I untuk pertama kalinya dan dia melihat peluang me'langlang nusantara' lagi. Dia maju minta ijin kepada atasan langsungnya. Sejujurnya, dia hanya ingin menghindar tugas tim dan mengoordinasi yang dirasanya berat. Bapak "atasan langsung" pun melihat tidak ada alasan logis membiarkannya pergi. Jelas saja, dia tidak pakai strategi saat itu dengan memilih ingin pindah ke Yogyakarta melalui instansi yang terkenal punya unit vertikal di wilayah paling dalam dan paling luar Indonesia. "Dua tahun kamu di Yogya, setelahnya pasti semakin ke timur dan ke timur. Enggaklah, jangan! Anak-anak mu masih kecil."
Di tengah puncak pandemi, ada lagi tawaran mutasi lintas eselon I. Dia ingat Pak Direktur pernah menawarkan saat rapat tatap muka mau pindah ke mana dan akan dijamin penempatannya di 2 tahun pertama. Meminta pindah, biasanya akan dinilai tidak loyal dengan organisasi. Tapi, kalau Direktur bertanya dan dijawab tidak mau pindah bagaimana penilaiannya? Bukankah konteks pembicaraannya Pak Bos ingin menunjukkan kemampuan intervensi dan relasinya? Bukankan konteks latar belakang pertanyaan Pak Bos untuk keberanian mengembangkan diri? Pak Bos pun bertanya lagi di wa grup siapa yang berminat ikut program mutasi lintas eselon I.
Siapa yang tidak ingin bekerja tanpa menghadapi macet? 15 menit berangkat dari rumah bisa langsung sampai di tempat bekerja? Politeknik akuntansi tentu saja pilihan logis dan menggiurkan. Tapi, yang akan ditukar dari Politeknik itu pejabat pengawas yang tusinya hanya administrasi dan menurut Pak Bos Besar tidak ada nilai tambahnya untuk organisasi. Setelah berfikir berkali-kali, konfirmasi dari bagian SDM untuk meyakinkan apa benar bersedia ke luar daerah, pilihan antara Yogya, Semarang, dan Bandung, bahkan dengan berani dia bilang di mana saja. Akhirnya ... di sinilah dia, melihat puncak Gunung Merapi setiap pagi.
Izin. Betapa pun kita menginginkannya ... berfikir kita sangat membutuhkannya ... sekuat tenaga mengusahakannya ... jika belum diizinkan Sang Pemilik Izin, jangan sedih jika tidak mendapatkannya. Keinginan yang tersimpan di hati itu sepertinya tersimpan rapi dalam koleksi doa-doa yang perlu pengabulan-Nya. Dan ... dalam satu jentikan jika waktunya tiba, keinginan itu terjadi juga.
Satu keinginan besarnya yang orang masih tidak percaya, "Mau ngapain kalau berhenti kerja? Udah enak-enak juga gajinya gede." Sudah lama sekali dia ingin berhenti bekerja, kira-kira ketika hamil anak pertama. Siapa yang akan menjaganya? Kenapa dia tidak bisa menjaganya? Keinginan itu berkali-kali tersisihkan. Dia harus tahan bekerja karena ikatan dinas, berhenti saat itu berarti membayar ganti rugi dan tentu saja suaminya tidak sanggup. Kalau pun sanggup, mana rela 'menebus' orang yang baru jadi tanggungannya, toh dengan istrinya bekerja beban ekonominya jadi lebih ringan. 13 tahun setelah ikatan dinas lunas ternyata punya hutang yang harus dibayar. Berkali-kali meminta suami untuk menjual aset untuk melunasi hutang itu tidak juga dikabulkan.
Kakaknya ada yang berhenti bekerja, awalnya untuk fokus pada penyakitnya. Lama-lama, tidak ada posisi yang bersedia menerima orang seusianya. Dia yang janda dan dua anaknya bergantung pada kesediaan adik dan kakaknya menafkahi. Sering mengunjungi sepupu dan tantenya untuk menghemat demi sarapan ataupun makan siang. Kurang lebih lima tahun hidupnya seperti itu, sebelum Tuhan memanggil untuk selama-lamanya.
Kepergian kakaknya membuat dia berfikir, kalau berhenti bekerja mungkin dia juga hanya akan jadi beban orang lain. Kalau sudah jadi beban orang, mungkin tidak ada gunanya lagi nafas, otak, dan jasad yang Tuhan berikan hingga akan cepat dipanggil menghadap.
Semakin lama, psikis dan mental rasanya sulit diajak bekerja dan berfikir keras. Mudah diliputi kecemasan dan depresi saat dituntut bekerja. Semakin lama, mudah terpengaruh lingkungan yang juga biasa bekerja seadanya. Tapi, sepertinya belum waktunya dia dapat "izin". Bahkan, saat di puncak depresi setelah berkali-kali membayangkan lebih baik besok mati saja, suaminya lebih rela dia bekerja jauh dari rumah daripada berhenti kerja dan jadi beban.
Jadi, di sinilah dia sambil menghitung mundur sampai hari itu tiba: masanya pensiun dini supaya bisa berhenti bekerja dengan tidak menjadi beban untuk orang lain. Semoga, saat itu juga izin terbuka🌾
Komentar
Posting Komentar