Bola Salju Harapan Palsu

Tahun 2017 rasanya akan berakhir dengan suasana dramatis. Penantian hampir sepanjang tahun kebanyakan pegawai akan kabar baik nasib kesejahteraannya berakhir dengan kesimpulan: tidak ada kenaikan. Banyak yang memberikan pernyataan, ”Yaa … kita syukuri saja,” ada pula yang berkomentar, ”Yahhhh… masak ga jadi naik, sih.”

Mengungkit-ungkit masalah ini bisa jadi bagai menyiram air garam di atas luka basah. Tapi saya benar-benar ingin mengingatkan diri sendiri, setidaknya, supaya tiap tahun tidak hanyut dan hanyut lagi dalam mimpi yang sama: harapan palsu.

Semua orang punya kebutuhan. Apalagi PNS, yang merasa tahu benar perhitungan pendapatan mereka harusnya diperhitungkan dengan faktor inflasi. Maka, setiap tahun pertanyaan kami, para PNS adalah, “Apa kebijakan Pemerintah untuk kesejahteraan PNS? Karena inflasi tiap tahun naik, kebutuhan sekolah anak juga naik."

Sebelum era reformasi birokrasi, andalan PNS adalah semata-mata kenaikan gaji yang diumumkan Presiden setiap tanggal 16 Agustus ketika menyampaikan pengantar nota keuangan. Lalu mulai ada upaya peningkatan kesejahteraan PNS dari sisi tunjangan. Frekuensi pemberian gaji pun bertambah. Awalnya, 12 kali saja mengikuti jumlah bulan dalam setahun. Lalu, ada tunjangan kinerja yang bisa dianalogikan sebagai bonus kinerja setahun, biasanya keluar saat-saat kritis harus bayar uang masuk sekolah. Ini di luar gaji dan tunjangan ketiga belas.Terakhir, kenaikan rutin gaji PNS dalam tahun anggaran ditahan untuk kemudian dirapel pemberiannya menjelang hari raya.

Sebenarnya saya ingin membahas dari sisi fiskal kenapa seharusnya setiap tahun kami tidak perlu berharap ada kenaikan penghasilan. Tapi, apa perlu menguraikan kapasitas keuangan negara kepada orang-orang yang setiap harinya berjibaku dengan pernak pernik fiskal? Saya ingin melaporkan hasil perenungan saya saja, kenapa seolah-olah kami diberi harapan palsu. Seolah-olah? Ya, karena bisa jadi, sebenarnya pemberi informasi itu tak bermaksud memberikan harapan palsu.

Jadi begini, saya membayangkan semuanya berawal dari percakapan di bajaj atau mobil jemputan. Antara pegawai biasa dengan pegawai yang diketahui berkaitan dengan alokasi belanja pegawai, remunerasi, atau bidang perencanaan, misalnya. Di awal tahun.

“Wah Pak, gimana kabar? Gimana nih nasib kita, ada berita gembira ga?” Setiap orang akan memegang rahasia jabatannya. Maka, jawaban yang diberikan sebenarnya berusaha diplomatis, ”Yah, ditunggu aja. Kalau ada kan, dapat kabar dari SMS banking.” Tapi perjalanan bajaj kan, minimal 15 menit, apalagi jemputan, ”Yaa … semua harga kan tiap tahun naik. Kebutuhan juga makin banyak, anak-anak mulai sekolah, perlu cicil rumah juga.” Bayangkan, jika Anda yang ditanya dan dicecar seperti itu oleh setiap orang yang baru Anda temui, atau semua orang di grup jemputan. Mungkin ga, pada akhirnya terlontar ucapan, ”K/L lain diurusin naik, kok nasib sendiri ga diperjuangkan?” dan ketika sudah merasa terpojok sekali, akhirnya keluar juga ucapan, ”Di tunggu sajjaa, Pak. He he he.”

Atau, bawahan yang bertanya kepada big boss di setiap kesempatan, dengan didukung data survei organisasi yang menunjukkan warna kuning untuk motivasi dan kesejahteraan. Apa bisa diartikan, pernyataan bos, ”Akan kita perjuangkan,” adalah upaya defensif supaya motivasi itu tetap bisa bertahan, tidak tambah kendor?

Kata-kata ‘ditunggu saja’ dan ‘akan kita perjuangkan’ akan kembali dipantau pada kesempatan berikutnya. Dan tingkat pertanyaannya mulai naik, ”Gimana, sudah disusun Perpres nya? Sudah mulai exercise tabel?” Kemudian, sudah sampai mana? Eselon I mana saja yang naik? Pak Setjen sudah buat nota? Menteri sudah diberi tahu? Dia mau tanda tangan?

Lalu muncullah berita, yang salah angka lah, akan diperbaiki lah. Aplikasi sudah diupdatelah, alokasinya sudah di APBNP lah. Syukur-syukur upaya itu memang ada. Tapi saya lebih membayangkan berita-berita positif itu sebenarnya penyimpulan orang atas jawaban diplomatis narasumber, yang menggelinding dari mulut ke mulut bagai bola salju harapan yang terlanjur besaaaar. Tunggu bulan anu, setelah habis sebulan, katanya bulan itu. Sampai bulan itu genap sempurna, tiba-tiba ada shortfall pajak jadi harus prihatin. Ha ha!!

Bahkan, setelah satu pihak sudah memastikan bahwa kenaikan itu tidak akan pernah ada, masih ada yang membahas dengan intonasi penuh keyakinan dan harap, dari TU Menteri, katanya Menteri sudah tanda tangan. Padahal, Menteri setiap saat, setiap hari tanda tangan: disposisi, surat keluar, peraturan, draf perundangan, bahkan bikin diari.

Catatan ini bisa jadi terkesan sinis, bahkan mengekspresikan emosi saya karena tidak ada kenaikan. Orang bisa juga bilang, "Dia kan double gardan, pejabat pula." Biar saja, tapi mudah-mudahan saya dan kawan-kawan satu korps selalu ingat, bagaimana kami dulu dihargai dan betapa, penghargaan itu sudah berangsur-angsur jadi baik. Jadi, daripada terombang-ambing dengan harapan yang akan sekedar jadi harapan, lebih baik tak usah bertanya. Dah, gitu aja. 🌾

Komentar

  1. Seru ya Ji, dulu kita kalo ditiap akhir tahun seneng banget jika ada angin sepoy sepoy berhembus menerpa harapan, tapi tiba tiba angin sepoy sepoynya langsung bablas dihempas angin topan puting beliung pake badai lagi...

    Kalo gue komen..."yah nikmati aja dan syukuri yang ada..." kayakn ya klise banget ya Jie...jadi ya komen gue..."ya gitu deh..."

    Salam,
    Pria Biru

    BalasHapus
    Balasan
    1. Helloww mas Hery, seneng dikunjungi lagi. Ha ha ha ... tulisan ini ekspresi heran aku sama punggawa fiskal yg sehrsnya ngerti konsekuensi keuangan negara. Tapi lbh banyak org yg butuh & didengar doanya sama Tuhan. Bersyukur aja, dan berusaha terbaik memanfaatkan apa yg udah negara kasih... terima kasih yaa

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjernihkan Nurani

Assalaamu'alaikum, Krisna

Demi Buah Salak