Atas nama ikhtiar

Ini tentang curhat saya mencari model pengobatan yang nyaman dan menenangkan. Nyaman, ketika kita bisa berobat dan berkonsultasi dengan dokter secara tenang, menenangkan karena observasi nya berdasar.

Dahulu, sewaktu bpjs belum diwajibkan, perusahaan tempat suami bekerja mengasuransikan kami sekeluarga di perusahaan asuransi swasta. Saat itu, kami tak perlu khawatir ketika perlu penanganan darurat (walau sebatas versi kami). Contohnya, waktu si kakak yang berusia 2 tahun, panas selama 2 hari, ga mau makan, kepleset dan muntah-muntah, kami langsung bawa dia ke igd rs internasional. Rawat inap 3 hari, diinfus, pulang alhamdulillah sudah sehat. Ga perlu ditolak di puskesmas karena datang tengah malam sementara kondisinya bukan termasuk kriteria gawat.

Setelah era bpjs, perusahaan suami 'hijrah' dan sejak saat itu, alhamdulillah sekeluarga kami sehat, cukup berobat ke klinik 24 jam yang terjangkau di dekat rumah. Lho ... kenapa engga ke puskesmas?

Berobat ke puskesmas itu hanya ditanya, apa yang dirasa? Lalu dikeluarkan resep. Stetoskop pun tidak. Apalagi treatment semacam nebulasi untuk anak saya yang sering sesak nafas sampai berbunyi.
Sampai suatu ketika, ketika, dan ketika...

Adik saya ada benjolan di leher kirinya. Katanya sudah sebulan dan rasanya mulai nyeri. Dia spontan minta kartu bpjs nya ke kami, lalu periksa di puskesmas. Oleh puskesmas dirujuk ke rs tipe c di sekitar rumah dengan diagnosa tb. Adik saya pun ke rs rujukan tersebut. Hari itu hari selasa, kebetulan ada jadwal dokter penyakit dalam. Tapi apa langsung diperiksa? Dengan alasan kapasitas, dia dijadwalkan pekan berikutnya. Waktu itu saya bilang,"Sabar ya De, berarti penyakit mu ga darurat untuk segera ditangani." Bagaimana orang yang nyawanya udah di tenggorokan, ya?

Selanjutnya, proses konsultasi lancar setiap minggu sampai si Ade diputuskan operasi untuk diambil benjolannya. Alhamdulillah, saya puas.

Pengalaman kedua, kakak saya yang punya masa-masa 'bangga' pulang pergi laboratorium-puskesmas-rawat inap karena katanya gula darah, kolesterol, dan tekanan darahnya gemar melonjak lonjak. Suatu hari sabtu, seminggu setelah dia keluar rawat inap di puskesmas, dia minta saya daftarkan ke rs rujukan (yang sama dengan adik kami) karena kepalanya ga bisa diangkat, pusing, mual, pokoknya ga karuan.
Saya bersegera ke rs tersebut untuk daftar. Tapi diberi tahu oleh satpam yang beralih fungsi jadi media informasi, sekarang pendaftaran lewat whatsapp. Setelah registrasi, kakak saya dapat jadwal periksa sebulan lagi!!! Alhamdulillah, kakak saya berangsur angsur pulih hanya dengan sugesti: dirawat di rs itu tak terjamah 🤔

Saya fikir, saya ga akan berurusann lagi dengan bpjs dengan lapisan lapisan pelayanannya.

Sampai suami saya terkena 'serangan' kedua penyakit kulit yang misterius. Di serangan pertama, dia ke dokter umum swasta mahal langganannya dan sembuh.

Selang sebulan kemudian, dia terkena penyakit yang gejalanya sama. Mengalami demam tinggi dan nyeri luar biasa di sekujur tubuhnya, sebelum keesokan harinya keluar ruam merah lagi di kakinya. Rasanya panas, gataal dan perih yang bercampur. Dia ke dokter umum langganannya itu. Siangnya, kakinya malah bengkak, ruamnya melebar, muncul gelembung-gelembung seperti melepuh.
Sore dia bilang akan kembali lagi untuk cek lab.
Kesimpulan diagnosa dokter: gula darah, kolesterol, dan asam uratnya tinggi dan soal kakinya diberi antibiotik untuk bakteri. Walau dia bilang virusnya belum sembuh betul.

Minggu, Senin, malam Selasa, kakinya semakin memprihatinkan. Ahh ... Tuhan, saya membayangkan bagaimana dulu nabi Ayub as?

Dalam kebingungan saya, apa suami akan sembuh? Ke dokter apa seharusnya dia berobat? Kenapa ga dikasih salep untuk meminimalkan luka dan iritasi kulitnya? Ya ampuuun ... saya kok jadi ga percaya dokter yang sekolahnya bertahun tahun susahnya ampun ampun dan luar biasa mahal ya ... :(
Tapi malam saya kelabu.

Atas nama ikhtiar, saya coba tanya rs yang berbeda dengan yang dirujuk kakak saya, apa bisa saya pakai rujukan faskes tingkat pertama? Bisa, jawab operator di seberang telepon. Dan ajaibnya, langsung dapat nomor antrian. Tapi 2 jam sebelum jadwal konsultasi, saya harus pemberkasan dulu.

Ke puskesmas, niatnya hanya minta rujukan. Antri 1 jam setengah. Setelah dapat giliran, dokter bersikukuh bisa ditangani di puskesmas. Dari hasil lihat, tanya, disimpulkan cukup dengan antivirus dan salep. Tanpa cek lab, tidak perlu dirujuk.
Saya ngotot minta dirujuk, karena diagnosanya nyaris sama dengan dokter sebelumnya tanpa data dukung selainnlihat dan tanya. Saya perlu opini kedua dari dokter kulit. Ahhh ... lagi lagi saya kok seperti lebih tahu dari dokter yang sudah bertahun tahun belajar? :(

Ketika berhasil dapat rujukan, ternyata proses pemberkasan luar biasa. Dari setengah 4 sore datang, dapat nomor antrian 480, baru dipanggil 301. Subhanallah.
Antrinya saja sudah sebegini panjang dan lama? Allah, bagaimana pelayanan dokternya ya? Suami saya gimana?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjernihkan Nurani

Assalaamu'alaikum, Krisna

Demi Buah Salak