Apakah Bunda Selelah Ini?

Alam sadar seolah menyuruhnya membuka mata. Spontan yang dilihat adalah jam dinding kamarnya, " Ya ampuun, masih jam tujuh kurang 15 menit aku kan masih bisa bangun lebih siang," batinnya. Hari Sabtu seharusnya jadi hari bermalas-malas sedunia. Tambahan lagi, kepalanya penat, tubuhnya letih, dan jiwanya lelah dalam sepekan. Lengkap sudah pembenarannya untuk menarik selimut lagi.

Dengkuran keras suaminya seolah jadi musik pengantar tidur lagi. Ia mencoba menenangkan diri, menguasai alam sadarnya untuk mencoba rileks dan tidur lagi ... berhasil.

Matanya terbuka lagi seiring nada dengkuran suaminya berganti. Antara penat dan sepat, malas dan sadar dia punya kewajiban setiap pagi, otaknya seperti tak mau dibujuk untuk rileks lagi. Hahh ... jam tujuh kurang sepuluh menit? Meski hanya lima menit tidur, ia harus bangun memulai hidup di hari itu.

"Aku belum masak, gelas-gelas belum dicuci, pakaian kotor belum dieksekusi, bahan makanan seminggu sudah habis," sederet tugas sudah berjalan di benaknya bagai running text berita.

Mondar mandir di pasar selalu menghabiskan waktu 1 jam. Itu pun dengan upaya maksimal menghindari antri. Dengkuran suaminya makin lembut terdengar saat ia kembali ke rumah.

Pertama, bahan makanan itu harus dicuci semua. Daging sapi dan ayam direbus berbumbu instan sebelum masuk lemari pendingin. Bunbu dapur dirapikan sesuai tempatnya. Sayur mentah masuk laci kulkas. Nyalakan mesin cuci, beri ramuan deterjen, pewangi, dan soda kue (ceritanya panjang kenapa suaminya menginstruksikan pakai soda kue). Sambil membubui ikan, angannya melayang. Duhh ... seperti ini kah lelaki dan perempuan diciptakan?

Lelaki bisa tidur sampai waktunya bangun untuk mandi, makan,  pergi bekerja. Pulang bekerja, mandi, makan, ke masjid, nonton tivi, tidur lagi.

Perempuan? Bangun, merancang menu, masak, mencuci, merapikan tempat tidur, beres-beres dapur, mengurus jemuran  pergi kerja. Mandi sekedar syarat saja memakaikan sabun agar wangi. Pulang kerja, mandi, merapikan baju yang sudah disetrika, cuci piring, menemani belajar, ketiduran.

Ikannya baru siap untuk digoreng saat suaminya pamit untuk bekerja.

Bunyi ikan menyelam minyak seperti memantik bisikan-bisikan memancing emosi. Laki-laki bekerja, berapa pun yang dihasilkannya istri harus menerima. Kalau kurang, tekan pengeluaran atau ikut bekerja.
Ia putuskan untuk bekerja. Tapi, ia seperti berada dalam lingkaran tekanan laki-laki.

Di rumah suami yang cuek, anak-ansk yang membantu kalau hanya diminta, itu pun sepertinya terlalu banyak permintaan.

Di tempatnya bekerja, bos yang selalu menghilang saat dibutuhkan menguatkan negosiasi, bos besar yang hanya bisa memberi target namun tidak pernah memberi solusi, anggota tim yang tidak punya komitmen, ada yang berkomitmen tspi pelupa, bahkan ada yang tidak bisa apa-apa tapi tetap mendapat hasilnya.

Kembali jiwanya berontak, apaka wanita dicipta untuk menanggung beban seberat ini? Hidup melayani dan di bawah tekanan lelaki?

Mesin cuci berbunyi tanda proses selesai, Sudah satu jam setengah ia berada di singgasananya: dapur dan sumur. Prioritasnya justru mematikan kompor karena ceret juga berbunyi. Termos air panas harus diisi. Semua pekerjaan disambi, tapi tetap tak mampu mempercepat waktunya untuk istirahat.
Pinggangnya sudah terasa nyeri, tapi ikan harus digoreng satu putaran lagi. Nasi kemarin harus disisihkan, wadahnya dicuci, dan bersihkan beras untuk menanak nasi.

Penanak nasi otomatis sudah diatur, dan dia sudah mulai bisa menghabiskan nasi kemarin dengan lauk ikan. Daftar musik yang diputarnya sudah menyanyikan lagu yang sama berkali-kali, tanda begitu lamanya waktu dan dia masih di sini. Lauk sampai siang itu sudah digoreng dan kakinya mulai kaku. Tak sanggup lagi mengolah kangkung.

"Cukup, setelah mencuci perkakas masak, menjemur,  aku harus tidur lagi," Saat waktunya tiba  jam menunjukkan pukul 10.40. Ya ampun, berapa lama aku di dapur dan ikan yang digoreng hanya enam ekor?

Segera ia kembali ke peraduan. Penat, lelah, nyeri membuat batinnya seperti melonjak mengganggu konsentrasi otak yang bersiap istirahat.

Diputarnya lagu kesukaanya  dari band dengan vokalis karismatik. "Dia memandang cinta lebih dari segalanya ... bertahan pada rasa yang memberinya luka.."

Suara empuk nan merdu itu perlahan dan lembut merasuki telinganya. Mengalir ke otak yang segera memerintahkan membrannya menutup melepaskan kesadaran. Berputar-putar ke jantung dan hatinya membawa sejuk dan damai.

--- gelap!!! ---

Ada di mana dia? Kabut tebal di depannya perlahan berlalu memberinya pemandangan bumi yang hijau. Ia tak dapat merasakan ada tubuhnya, tapi pandangannya nampak nyata. Dikutuk jadi drone kah dia?

Antara dekat dan jauh, ia melihat seorang wanita tinggi besar. Sangat tinggi dan besar. Cantiknya tak bisa disandingkan dengan wajah-wajah artis terkenal yang dirayangkan tivi, atau media masa. Rambutnya dikepang samping begitu anggun.

Wanita itu hamil besar, ada keranjang berisi baju digendong di punggungnya. Tangan kirinya membawa sekeranjang sayuran, tangan kanannya membawa ... apa itu? Tangkapan hewan buruan?

Nafasnya terengah-engah mengimbangi langkahnya yang nyaris berlari. Tapi ... senyum tak pernah lepas dari wajah itu.

Nun jauh di balik bukit, ada pemandangan yang semakin dekat dan nyata di lihatnya. Bocah-bocah lelaki berkelahi, yang perempuan bersolek mematut diri, bayi-bayi kecil menangis dijahili, atau tidak nyaman popok belum diganti. Perabot berantakan di sana sini. Dan ... dengkuran itu, yang sangat dikenalnya ... Lelaki bertubuh sangat tinggi besar, tidur nyenyak di bawah pohon, bertelanjang dada, berbantal tangannya beralas rumput hijau. Seolah-olah keributan yang bagai perang dunia itu tak pernah terjadi di dekatnya.

Ia tiba-tiba terjaga ... Azan zhuhur mulai bersahutan. Ia tak lupa apa yang baru saja dilihatnya, begitu nyata  membuatnya bertanya-tanya.  Ahhh bunda, ternyata kau jauh lebih lelah. 🌾

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjernihkan Nurani

Assalaamu'alaikum, Krisna

Demi Buah Salak