Menjernihkan Nurani

Yogya memasuki musim panas. Entah sudah berapa bulan air turun hanya berupa embun di pagi hari. Siang menjadi begitu terik, seperti hari itu saat pesan wa masuk ke teleponnya.

"Tante, aa Udin ga bisa jemput. Motornya dipakai uwak Tati"  Nina, keponakannya mengadu dari radius 695 km jauhnya, di Tangerang Selatan. 

Hmmhh ... batin Tuti mengeluh ... akhirnya semua jadi bebannya juga. Bintang, kakaknya Nina yang awalnya ditugaskan menjaga adiknya lebih memilih tinggal dengan ayah dan ibu tirinya di Jakarta. Udin, yang sudah lulus SMK masih belum bekerja, mengandalkan sepeda motor dari uwak Tati yang sudah jadi orang tua angkatnya. Bahkan, uwak Tati, kakak Tuti yang berjanji menjemput Nina sekaligus Ifat anakanya, berhalangan juga. Pun, Bagas, anaknya yang SMA dia mintakan tolong untuk menjemput selalu beralasan sekolahnya belum selesai.

Akhirnya dia mengirimkan saldo pembayaran untuk ojek online. Bebannya akan membengkak, Rp16.000,00 sekali jalan dari stasiun jurang mangu ke rumahnya.

Sembilan bulan yang lalu, Tati, kakaknya menyampaikan Nina, keponakannya minta tinggal bersama Tati. "Tapi rumah gue kamarnya cuma 2, Tut. Lah yang ada bocah lanang mulu si Udin sama si Ifat. Bintang juga kalo nginep di situ. Kali-kali dia bisa tinggal di sini sama elu."

"Tapi gue aja engga di sini Kak. Kan gue tugas di Yogya. Kasian laki gue bang Adul ngurus 2 bebocahan."

"Kasihan, banget Tut itu bocah berdua. Si Bintang nih, udah sering ga masuk katanya kagak punya bensin. Sering kaga kebagian makan di sono ama Bapaknya. Embahnya pagi kaga masak, tahu siang dikasih jajan apa engga. Sore udah kaga kebagian ama ponakan-ponakan Bapaknya banyak banget." ya .. ya .. ya cerita prihatin itu sudah sering didengarnya ... miris.

"Ini udah pada kaga pegang hp. Tiap bulan digade sama bapaknya. Itu si Nina haid udah berapa bulan katanya engga berhenti. Stres kayaknya." Kak Tati menambahkan situasi mirisnya.

"Si Nina memelas banget, Tut. Sampe bilang wa Nina tinggal di sini deh sampe SMA supaya Nina bisa jadi perawat. Kalau tinggal sama Bapaknya boro-boro bisa lanjut kali, la buat ongkos sama bayaran sekolah aja engga ada." Saat itu, Nina punya tunggakan Rp695 ribu di SMP-nya. Sementara sekolah Bintang, sudah sejak awal menjadi tanggungan Tuti dan aman. Tiap bulan, Tuti mengirim uang Rp600ribu ke rekening almarhum Titi, kakaknya yang kedua, Ibu Bintang dan Nina. Tapi ternyata, kartu ATM dipegang ayah mereka dan tidak tahu uangnya dipakai untuk apa.

Awalnya, Tuti berniat membawa Nina ke Yogya dalam pengawasannya. Setelah 2 (dua) bulan mencari pindahan ke 10 SMP negeri di sekitar tempat kontrakkannya tidak berhasil, Tuti menyerah dan bercerita ke Bang Adul, suaminya. 

"Ya sudah, biar dia tinggal di sini di kamar Bagus. Nanti kalau Bagus pulang, dia bisa tidur di kamar Bagas." Bang Adul, suaminya, menyampaikan dan berusaha legowo memahami kondisi memprihatinkan Nina dan Bintang. Bagus mengikhlaskan kamarnya dipakai Nina, dan Bagas merelakan berbagi kamar saat kakaknya yang merantau pulang.

Sembilan bulan lamanya, Tuti memutar otak mencukup-cukupi penghasilannya yang sudah terbagi dua dapur di Yogya dan Tangerang Selatan menjadi lebih irit karena beban bertambah. Nina harus diantar ke stasiun dan berangkat dengan KRL. Di stasiun tujuan, dia masih harus naik satu kali angkot ke sekolah. Jadi harus memberi e-money untuk kereta dan ongkos angkot. Total, awalnya dia harus memberi ongkos Nina Rp650ribu dengan menyisakan jatah Rp10ribu per hari untuk jajan pengganti makan siang. Tapi, kelamaan Tuti tidak sanggung, meskipun sudah memotong 50% uang saku kuliah Bagus, menghemat uang jajan Bagas dengan termasuk bensin dan kuota, dan memotong uang saku Bintang kakak Nina. akhirnya, setiap bulan ongkos Nina jadi Rp550ribu. Uang jajan, Tuti suruh Nina minta ke ayahnya.

Repotnya kalau pulang. Angkot dari stasiun ke rumah sering mengoper di tengah tujuan.

Kakaknya selalu menenangkan, "Nanti dijemput Bintang. Kalau Bintang ga bisa, Udin yang jemput. Kalau Udin ga bisa, nanti gua sambil jemput anak gua si Ifat."

Tapi, akhirnya terjadi juga yang dikhawatirkannya. Semua orang tidak bisa menjemput, dan terbayang tambahan pengeluarannya Rp15.500,00 untuk tiap hari sekolah minimal Rp300ribu sebulan. Untuk jemputan saja.

----

Dan berbuat baik ternyata tidak mudah. Hatinya sering gelisah. Apa dia mampu menanggung semuanya? Tambahan lagi kalau membayangkan kalau mereka tidak berhasil akan terus menjadi bebannya. Tapi kalau berhasil orang lain yang menikmatinya, yaitu ayah dan ibu tirinya, keluarga ayahnya.

Sekarang saja, motor yang dulu susah payah dibelikan ibunya, Titi kakak kandung Tuti, telah berganti bentuk dan rupa, dijual dan dibelikan motor bekas yang lain. Yang menyedihkan, plat motor nya E apa atas nama ibu tirinya yang orang Cirebon? Bintang sudah memutuskan tinggal dengan ayah dan ibu tirinya juga di Jakarta Selatan. Dia hanya menghubungi Tuti kalau ada pembayaran sekolah yang belum dilunasi.  Bahkan, saat studi wisata ke Bali, dua kali telepon Tuti tak terjawab tapi Bintang tidak berusaha menelpon lagi.

Tambah menyedihkan, jika Tuti membayangkan rumah warisan orangtuanya jatah almarhumah Titi, yang mungkin akan terbengkalai karena  kedua anakanya, Bintang dan Nina tidak akan memikirkannya saat mereka sudah punya penghasilan nanti. Mereka akan lebih bersama ayah dan ibu tiri mereka. Hati Tuti tambah sakit membayangkan kalau surat rumah diserahkan kepada kedua anak itu, nanti akan dibalik nama atas menjadi nama ibu tirinya, atau ayah mereka, atau adik-adik tiri mereka kelak.

Saat bayangan-bayangan itu datang, Tuti sadar dia akan hancur kalau terpengaruh. Meskipun menghilangkannya sulit, dia terus bekerja keras menjernihkan nuraninya. Dia tidak meminta mereka datang kepadanya, jadi Tuhan yang mengirimkan mereka. Maka Tuhan akan memampukannya. Bagaimana sikap mereka ketika dewasa, tidak usah difikir. Jangan pernah menuntut balik apa yang sudah dia berikan, korbankan. Yang penting mereka mandiri, tidak menjadi beban siapa-siapa lagi kelak.

Meskipun sulit, semoga latihan ikhlas ini mendapat ganjaran dari Tuhan. Berbalas kebaikan kepada dirinya dan keluarganya, suami dan anak-anaknya.

Ikhlas🌾🌾


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Assalaamu'alaikum, Krisna

Demi Buah Salak