Buntu


Langit Tanah Abang nampak cerah berselimut awan putih. Entah bagaimana mekanisme alam menyaring polusi asap kendaraan bermotor , sehingga nun jauuuuuuuh di sana, awan tetap putih. Neng senang sekali menatap awan putih. Ia selalu membayangkan saat-saat seperti itu lah ia berhadap-hadapan menatap wajah Allah.  Meski tak pernah sanggup menumpahkan keluh kesahnya, setidaknya ia yakin dari lantunan istighfar nya Allah tahu Neng tengah mengadu.

Ia hanya bias beristighfar karena tidak bisa melantunkan permohonan atau menulis kata-kata permintaan atas pemandangan ironi yang jadi menu nya sehari-hari. Anak-anak penjual koran dan penyemir sepatu semakin bertambah, orang buta yang setia tiap pagi melantunkan  senandung nostalgia-nya bang hadji, orang-orand dewasa yang menjual tisu dan koran.
Bukan pengemis yang membuat batinnya risau. Para pengemis itu bisa saja mengironisasi diri mereka, menceritakan kisah menghiba, lalu mereka berkata,”Daripada saya menodong ibu-ibu, lebih baik saya meminta-minta”. Mereka tidak pernah menarik rasa iba Neng.

Tapi, orang-orang yang gigih menjaja koran, tissue, atau dagangan lainnya, mengamen, menyemir, denagan hasil yang kelihatannya tidak seberapa, yang kadang membuat hati Neng jadi perih.
Allah … adakah jalan untuk mereka jadi lebih baik. Allah … jadikan saja mereka hamba-hamba yang penuh syukur.

Lalu, saat-saat menatap langit it u pula ia jadi tersadar posisi dirinya. Dadanya yang sering bergemuruh, karena merasa kesabarnnya diuji jadi mereda kembali. Sebetulnya, masalah-masalah besar hidupnya sudah terselesaikan. Bahkan, keinginannya sekolah lagi untuk bekal memperbaiki nasib sudah terwujud. Masalah yang terasa besar buat Neng sekarang hanya masalah pengakuan dirinya di kantor.

Sebulan ini ia merasa jadi pengangguran intelektual. Sejak melapor di hari pertama Oktober, pekerjaan utamanya setiap hari hanya mengharap satu lembar Surat Keputusan pelimpahan dari Sekretariat Badan ke biro asal. Berdasarkan SK itu, kepala biro asal bisa melimpahkan Neng ke unit yang katanya sedang membutuhkan tenaga tambahan. Sebulan lebih, SK itu tak kunjung ia terima. Ia tak bisa didelegasikan, ia tak bisa diberdayakan, ia tak bisa berkontribusi. Sebulan lewat delapan hari sekarang. Dan ia belum merasakan lagi saat-saat seperti dulu ia dibutuhkan membuat notulen rapat, nota dinas, surat tanggapan, prosedur kerja, dan tugas bertumpuk yang hari-hari ini sering dikeluhkan kawan-kawannya. Tugas-tugas yang sempat membuat dirinya begitu berguna.

Tiap pagi, tercepuk-cepuk mengejar absen. Menunggu sore untuk absen kembali sambil  bersusah payah melawan kantuk karena membaca ‘komik’ tanpa gambar yang bercerita tentang perlakuan instrument keuangan, asset tetap, property investasi, laporan keuangan konsolidasi, peraturan, atas inisiatif sendiri. Sekedar menghibur diri … ia tidak meninggalkan rumah cuma sekedar mempertahankan absensi demi 3 juta rupiah di akhir bulan.
Hufffffffffhhhh … masalahnya cuma menunggu SK.

Perhatian kawan-kawannya kadang jadi seperti boomerang buat Neng. Pertanyaan kapan SKnya jadi? How would I know???? Neng membatin miris. Ia sudah bertanya staf, eselon empat dan tiga. Bahkan ia menurut anjuran bersabar dari staf di Kepegawaian.
Tapi pertanyaan itu datang hampir tiap hari. Neng jadi bingung. Apa dia terlihat seperti orang yang tidak mau bekerja hingga membiarkan SKnya begitu lama tak jadi-jadi?
Tapi apa ia kuasa menyuruh Sekretaris Badan yang terhormat dan sibuk untuk meluangkan waktunya yang begitu berharga buat dia yang bukan siapa-siapa? Apa dia bisa menyuruh staf itu untuk mendesak atasannya segera memproses SK nya? Siapa dia?
Masalah Neng sekarang cuma satu: menunggu SK.

Jadi, Neng sangat sering menatap langit. Karena sering Allah seolah memberi gambar yang begitu nyata di sana. Pengungsi merapi yang harus meninggalkan kenyamanan mereka, pengungsi tsunami di Mentawai yang terlunta-lunta, pengungsi longsor di Wasior yang kehilangan segalanya. Mereka begitu butuh sabar dalam ketidakpastian. Dan mereka sabar.
Neng baru menunggu satu bulan delapan hari. Dan kalau memegang janji orang-orang berkepentingan di unit itu, Neng hanya perlu waktu menunggu ‘secepatnya’: dua minggu, setelah HUT keuangan, Senin depan, dan minggu ini. Lebih pasti.

Jadi, Neng sabar ya … kan udah latihan bertahun-tahun. Karena, sekarang sesungguhnya masalah Neng cuma menunggu SK penempatan. Neng ga harus memikirkan makan apa hari ini, dikejar tramtib apa engga, tinggal di mana setelah rumah dihempas gelombang, longsor dan wedhus gembel. Inget, Neng … masalah mu cuma menunggu SK penempatan. Jadi, sabar ya ….🌾

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjernihkan Nurani

Assalaamu'alaikum, Krisna

Demi Buah Salak