Merindukan Sushi


Hhhh … Neng menghela nafas untuk yang kesekian kalinya. Sudah berapa kali dia sadar ada kekurangan dalam pekerjaannya. Sudah berapa kali dia mengingat-ingat kekurangan itu dan berusaha menghindarinya. Tapi … ternyata jenis pekerjaaan lain, tingkat kesulitan dan pemahaman juga lain.
Tidak ada orang yang sempurna, itu pasti. Setiap orang pernah berbuat salah, itu tentunya. Tapi kalau lagi dan lagi?
“Sudah lah … yang penting kita sudah bekerja semampu kita”., kata seorang senior menenangkan.
“Ga usah terlalu jadi beban. Yang penting kita bekerja sesuai kemampuan terbaik kita”,  hibur sang Atasan.
“Jangan terlalu stress. Yang penting kita taat dengan prosedur yang harus kita jalani”,  tegas suaminya menghibur.
Hhhh … semampu kita, kemampuan terbaik, itu hal yang relatif. Kelak jika kesalahan itu jadi temuan institusi pemeriksa, apa mereka percaya itu adalah hasil terbaik yang bisa Neng lakukan?
Prosedur sudah berusaha ditaati, tapi masih ada yang terlewat.
Neng masih merasa kesulitan bekerja untuk me-review dokumen yang bisa terkait ke mana saja. Kelengkapannya sudah terpenuhi atau belum. Dalam waktu yang hanya tiga hari, maksimal. Bahkan sering hanya dalam sehari.

Hhhh … Neng jadi ingat, setahun yang lalu dia sempat begitu stress sampai ingin loncat dari kamar apartemennya di lantai 14.  Hiii … untung ga jadi.
Dulu dia merasa tertekan dengan perasaannya yang selalu merasa tidak mampu menyelesaikan tugas kuliah program Masternya. Stress itu timbul karena dia sempat menyesal telah begitu menginginkan sekolah lagi dengan harapan memperbaiki masa depan. Padahal, saat menjalaninya, apa yang dipelajarinya selalu berujung pada rumus-rumus matematika ekonomi. Penjumlahan berseri, derivative, integral, bilangan natural, probabilitas,  yang formulanya tidak cukup berisi tiga varibel dan tidak hanya terdiri dari angka-angka.  Kepalanya selalu jadi sakit. Belum lagi tugas membuat essay, PR, tugas kelompok, dan ujian. Dalam waktu satu tahun, dia harus menyelesaikan 19 mata kuliah yang diwajibkan kampusnya.
Tapi dia ingat dosa. Dia sadar kalau dia loncat dan mati, dia tidak bisa memeluk dua jagoan kecilnya lagi, dan keluarganya hanya bisa memeluk tubuh kakunya. Dia masih merasa terlalu takut untuk pergi selamanya.
Hhhh … akhirnya dia hanya berusaha sebisanya. Meminjam buku tambahan dari perpustakaan, lebih lama di ruang belajar kampus dengan target satu tugas dikerjakan setiap hari, melakukan pendekatan dengan teman-temannya yang lebih ahli dalam urusan matematika, program software untuk ekonometric, dan berusaha mengerti satu subjek sebelum tidur.
Ternyata perasaan tertekannya setahun yang lalu ada akhirnya, terlihat hasilnya. Nilainya tidak terlalu mengecewakan walau tidak bisa dibilang superb. Dan semua selesai setelah wisuda.

Tapi saat-saat ini. Neng tidak pernah tahu sampai kapan tenggelam dalam situasi tertekan seperti ini. Kadang ia bisa menjalaninya dengan begitu ringan. Tapi jika datang lagi satu masalah saja, bebannya begitu berat, menyakitkan kepala dan melinukan tulang. Mungkin terlalu hiperbolis, tapi itulah yang terjadi.
Dan itulah yang membuat ia merindukan lagi masa-masa kesepiannya yan g dulu dia rasakan begitu pahit. Menyusuri Ryodocho bijutsukan dori sepulang dari kampus yang mulai sepi dari kehidupanpada jam 9 malam saat suhu udara mendekati satu digit sepanjang  bulan November sampai Februari dengan dingin menusuk-nusuk tulang. Menikmati pesona pinggir laut Chiba sepanjang  jalur kereta Kiba – Kaihinmakuhari dan melintasi taman yang gundul tak berdaun dengan burung-burung dara berkelompok saat bolak-balik ke JETRO mencari data untuk policy paper. Ceria mengunjungi situs wisata sepanjang jalur subway Oedo-line dengan tiket Toei one-day pass dan mengakhiri malam di kedai sushi Shinjuku dengan teman-teman Kamboja.
Saat dijalani, kehidupan terasa pahit. Tapi toh, selanjutnya dia akan jadi kenangan saja dan Neng hanya akan tersenyum  ketika mengenang  saat-saat berjuangnya.🌾

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjernihkan Nurani

Assalaamu'alaikum, Krisna

Demi Buah Salak