Najib Mau Sholat

Ya ampuuunnn … susah amat ya, nyuruh sholat si nyemluk (julukan gemeusss Ayah untuk Najib yang chubby). Adaaa saja alasannya … “Aku masih gambar, Ayah” … “Aku mau makan, Ibu” … “Aku capek, Emak” … “Pokoknya aku tidak mau sholat, Baba” … dua yang terakhir adalah panggilan si nyemluk ke pengasuh anak-anak dan suaminya.

Kalau kakaknya, bisa di-persuasi, di-sugesti, di-motivasi dengan hal-hal yang bersifat ‘ghaib’, misalnya: tabungan pahala mu sudah banyak, lho … Allah sedih lho, kalau kamu tidak datang sholat … nanti dibangunkan rumah indah lhoo di surga.
Tapi, si nyemluk ini kalau dikasih motivasi ‘ghaib’ seperti itu malah bertanya:

“Memang Allah ada di mesjid ya, Bu?”

“Surga itu di atas awan ya, Bu?”

“Aku kan maunya paha ayam, Bu. Bukan paha la…”

Tapi, Ayah tidak kehabisan strategi untuk membiasakan Najib sholat: naik motor ke masjid yang jaraknya hanya 300 meter-an dari rumah. Setiap hari libur, plus shubuh Ayah akan tergopoh-gopoh mengeluarkan motor, kecuali hujan lebat. Pulangnya, tentu saja berputar sejauh yang bisa dilalui jika waktu memungkinkan.
Lumayaaaannn … lama kelamaan, dia sudah terpanggil kalau adzan. Meskipun kalau Ayah sedang tidak di rumah, Najib pasti melewatkan kesempatan sholat berjamaah di masjid.

Kalau sholat di rumah, biasanya Najib akan mengambil posisi di pojok kamar, di samping lemari. Dia akan menghentikan sholatnya dan protes keras kalau dia merasa ada yang mengintip caranya sholat. Kalau protesnya tidak digubris pada kali kedua dia sholat, hmmm … akibatnya, dia akan ngambek dan tidak mau sholat. Seakan tidak peduli bahwa Allah Yang Maha Penyayang sedang ‘membentangkan’ rahmat-Nya menunggu Najib sholat.

Suatu kali, Najib memaksa sholat di rumah karena merasa terlalu lelah bermain. Baiklahhh … supaya tetap mengajarkan pentingnya berjamaah, Ibu bersedia menjadi imamnya. 

Takbiratul ihram dimulai … lalu terdengar sayup di belakang Ibu,  “1, 2, 3, 4… 10 … Allahu akbar” …

“1, 2, 3, 4, 5 … Allahu akbar” daaan seterusnya sampai tahiyat akhir hingga Ibu mengucap salam. Rupanya, dia menentukan lamanya setiap gerakan sholat Ibu dengan berhitung, bukan membaca doa.

Tentu saja Ibu menegur,”Astaghfirullah Najib … kenapa bukannya membaca surat Al Quran dan doa, tapi malah berhitung ??? Kamu sudah belajar kan?”

Tapi jangan membayangkan Ibu menegur dengan melotot dan nada galak, karena saat itu Ibu berusaha menahan tawa geli dengan ekspresi wajah datar agak gimanaaa gitu. Dan si nyemluk dengan senyum memamerkan gigi ompongnya menjawab, “Kan biar cepet, Ibu” dan blessss … kabur lagi.

Suatu malam yang lain, setelah mengerjakan PR Najib sholat isya sendirian. Ayah belum pulang, Ibu berhalangan, kakak sedang tidak enak badan dan menunggu Ayah pulang. Tapi, kali ini Najib sholat di tempat ‘terbuka’ di ruang keluarga. Memang siii … ketika dia sholat sedang tidak ada siapa-siapa di situ. Ahhh kesempatan Ibu mengintip sholatnya dari balik pintu.

Subhanallah, takbirnya tegap, meletakkan tangan di dada, rukuknya lurus, dan heiii … dia sudah bisa sujud tahiyat akhir dengan menggeser posisi kakinya sehingga badannya jadi miring. Padahal … sebelumnya, dia hanya duduk simpuh dengan memiringkan kepala.

Semua memang perlu proses, kesabaran, kegigihan berusaha, dan jangan lupa berdoa. Apalagi yang bisa menenangkan hati selain melihat sisi religi pelan-pelan tumbuh dan tertanam kokoh pada diri anak-anak?

Rabbana, hablana min azwaajina wa dzurriyatina qurrota a’yun. Waj’alanaa lil muttaqiina imaama. Aamiin.🌾


Komentar

  1. Hihihi anaknya lucu mba :)
    Tapi emang PR besar banget ya ngajarin anak sholat pfuuh..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha ... alhamdulillah, masih bisa ngajarin yaaa hehe

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjernihkan Nurani

Assalaamu'alaikum, Krisna

Demi Buah Salak