Neng, Perempuan Galau

Malam itu, seperti biasa, setelah menjalani rutinitas sepulang kerja: menyapa anak-anak yang bersiap tidur, merapikan pakaian yang sudah disetrika, mencuci gelas-gelas berserakan, mandi dan sholat isya, Neng masih ada tugas memeriksa hasil pekerjaan kakak menjawab latihan ujian nasional matematika. Rasanya, hampir  setiap kesempatan, dia mendampingi kakak memahami konsep soal matematika, dari mulai bahan masuk pesantren, MTs Negeri, sampai try out di sekolah, tapi … hasil nya belum ada yang memuaskan. Padahal Ujian Kelulusan SD tinggal menghitung hari. Menurut pengamatan Neng, bukan karena kakak tidak mengerti apa yang harus dikerjakan atau bagaimana harus menyelesaikan soal, tapi lebih karena daya juangnya yang kurang. Gampang menebak, atau cenderung terlalu santai mengerjakan setiap soal. Seperti tak ada dimensi waktu. Serasa dia tidak bersaing dengan orang lain untuk mendapat nilai benar sebanyak-banyaknya.
Menjadi Ibu yang diandalkan di rumah sebagai guru privat tentu saja membuat bangga. Namun, dengan kondisi ada 2 anak ‘istimewa’ (si sulung kelas 6 dan sedang labil-labilnya, si adik kelas 1 SD yang sedang ngeyel-ngeyel-nya :D) yang harus diberi pemahaman, jam bertemu di malam hari setelah waktu luang mereka sepulang sekolah digunakan bermain, sementara kondisi fisik ‘sang guru’ sudah penat, memerlukan keterampilan lain dalam mengolah emosi, energi, dan target pemahaman yang ingin dicapai. Neng berusaha tidak muluk-muluk, ada tarik-ulur  kapan saatnya mereka belajar atau malam mereka bisa menikmati acara TV tanpa beban.
Dan malam itu, Neng telah menugaskan kakak untuk belajar mandiri. Mengingat sendiri segala cara penyelesaian soal yang sudah dia pelajari dari Pak Teguh melalui matematika konseptualnya, dari Bu Rosi melalui trik menjawab cepatnya, dan dari ‘sang guru rumah’ melalui teori-teori samar yang berusaha diingat-ingatnya.
Sayangnya, di antara peran penting  yang tak jarang membuat Neng merasa menjadi begitu perempuan, di antara kelelahan menjalankan berbagai peran, di antara kegalauan tentang arti pengabdian, hati kecilnya juga sering membisikkan rayuan. Rayuan yang rasanya seperti tiupan  angin sejuk pagi hari di pantai berpasir putih. Begitu menjanjikan kedamaian.
Sekolah lagi. Strata 3. Wahhhh, level kemahasiswaan tertinggi sebelum post doctoral? Kenapa malah terfikir sekolah lagi? Ada rasa rindu dengan suasana berjuang ketika sekolah: semua kerja keras atau kemalasan kita ada reward  dan punishment – nya. Dan jika kita memilih untuk berjuang sungguh-sungguh, hasilnya membanggakan, memuaskan, dan menambah semangat. Lalu, apalagi kalau bukan rindu ‘kampung halaman’? Jepang yang indah, langitnya biru cerah, udara segar, lingkungan bersih, orang-orang yang tertib, transportasi terjangkau dan tepat waktu, serta sakura-sakura merah muda-putih yang buncah berhamburan bak confetti musim semi. Apalagi ya … ? Mmmm … obsesi memperlihatkan ‘keajaiban dunia luar’ kepada Abang dan anak-anak sejenak di musim semi atau ketika hujan salju tiba. Maklummm, waktu sekolah S2 hanya satu tahun sehingga Neng tak sempat memboyong keluarganya demi alasan prioritas keuangan.
Namun, yang paling menggiurkan adalah: dia menemukan idealisme sebagai alasan kuat kenapa harus sekolah lagi. Dia pernah berjanji pada dirinya sendiri, sekolah itu tidak sekedar mengejar karir, jalan-jalan, nambah tabungan, atau menghindari stress. Kalau kelak dia tidak bisa menjadi lebih bermanfaat, berkontribusi secara berarti buat negaranya, rasanya … buat apa menyandang gelar Ph.D atau DR? Dua titel bergengsi itu adalah gelar yang juga disandang oleh Sri Mulyani Indrawati, Boediono, atau Darmin Nasution. Contoh pemikir-pemikir hebat negeri ini. Nahh … kalau belum bisa memikirkan bagaimana nanti dia berkontribusi, walaupun tidak sekelas ketiga ekonom itu, Neng tidak berani bermimpi mencari-cari peluang S-3. Tapi, belakangan ini, rasanya dia menemukan jalan yang akan diambil untuk mengamalkan ilmunya. Menjadi seorang game theorist. Mengamati dan menganalisis payoff pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengambilan keputusan terkait keuangan Negara, untuk kemudian menyimpulkan rekomendasi dalam rangka mengamankan uang rakyat dari makelar-makelar proyek yang menyamar dan tersamar di gedung dewan yang dihormat. Atau, spesialis keunggulan kompetitif antar-wilayah Indonesia, sehingga penyediaan barang dan jasa tidak terlalu mengandalkan impor atau investor asing yang berdampak pada kemandirian ekonomi.
Sungguh kah dia akan menempuh jalan itu? Lima tahun, rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan S-3. Lima tahun adalah waktu yang panjang dan tak ternilai untuk kehilangan kesempatan menjadi tutor dan mentor jagoan-jagoan kecilnya yang kelak beranjak remaja. Abang tidak akan setuju lagi menemani ke luar negeri dengan meninggalkan posisi nyamannya di tempat bekerja yang sekarang. Juga, Abang tak akan percaya Neng bisa merawat 2 anak sendirian sementara dia akan sibuk di kampus. Sungguh kah dia akan menempuh jalan itu?
Dan malam itu, di antara suara gemercik hujan yang berlomba dengan wussss … hembusan angin menggoyang dahan kecapi, ketika Neng membuka halaman pertama kumpulan soal matematika yang sudah dikerjakan Kakak, sambil menyantap sisa bekal pagi Adik (meminimalisasi kesia-siaan makanan juga tugas Neng), ia serius berkonsultasi dengan Abang, separuh jiwanya.
“Bang, apa sih tujuan sekolah lagi?” matanya terpekur pada pilihan jawaban Kakak di nomor 1. Yesss, betul.
“Belajar lagi. Mendewasakan cara berfikir. Mencari pengalaman”. Wowww, seidealis itu kah Abang? Nomor 2, Alhamdulillah, tetap betul.
“Sekolah itu bukan sekedar mencari nilai. Melalui pelajaran yang diberikan, kita juga belajar metode menyelesaikan masalah. Prosesnya. Memahami pendapat orang lain, belajar menerima perbedaan”. Lanjutnya memberi pencerahan. Hmmm … no.3, kakak sepertinya lupa kalau seharusnya yang dikerjakan yang di dalam kurung dulu. Salah satu. Nomor 4, baik-baik saja.
“Kalau ingin jalan-jalan, mengajak keluarga supaya bisa menikmati pengalaman di luar negeri?” Nomor 5, 6, … sampai 10, nampaknya Kakak belum menemukan kesulitan.
“Yang penting, syukuri apa yang sedang di jalani. Lakukan saja sambil jalan dan lihat hasilnya.” Hmmm, sepertinya ada lampu kuning mengarah ke hijau, nih. Ahhh … sampai nomor 15 Kakak masih baik-baik saja, tapi dia tidak teliti menghitung penjumlahan sederhana setelah melakukan konversi satuan ukur dengan benar. Salah dua.
“Kalau aku, misalnya, mencari peluang sekolah lagi? S-3 di Jepang?” Neng langsung ‘menembak’. Wowww untuk nomor 18 ini Kakak berhasil memahami hakikat perbandingan kuantitas.
“Yaa .. coba saja. Kalau tujuannya benar, insya Allah diberi jalan kan?” Ooo  … ya?? Lampu hijau kah ini? Adduhhh … sayang sekali nomor 20 ini Kakak tidak mengurangkan 15 menit waktu istirahat dari waktu tempuh. Salah tiga.
“Tapi, lima tahun lho, Bang. Itu kan lama. Masalahnya … Sebenarnya, bukan keluarga yang membutuhkan kita. Tapi, kita yang butuh keluarga. Keluarga mungkin bisa-bisa saja melalui lima tahun tanpa aku. Tapi, sendirian di Negara orang sambil belajar, itu yang sering bikin kesepian dan rasanya sulit menjalani hari-hari dengan ringan”. Arrrgghhh … soal nomor 24 ini menyebalkan sekali. Yang dimaksud soal itu 20 cm atau 10 cm sih??? Sayang sekali, padahal cara berfikir kakak sepertinya sudah benar. Kecuali untuk mmmm … nomor 25 nya, sepertinya dia tidak teliti lagi menjumlah. Salahnya sudah lima.
“Sri Mulyani itu, berapa lama tinggal di Washington? Berapa lama dia harus terpisah dari keluarganya?” Abang terkesan sedang meyakinkan bahwa Neng juga bisa sehebat Sri Mulyani. Bagai langit dan bumi. Dan … heiii logika Kakak ternyata bisa diandalkan untuk menyelesaikan soal-soal konversi satuan ukur dan selisih uang dengan petunjuk perbandingan. Sampai nomor 32 tidak ada masalah.
“Rasanya aku tidak setegar Sri Mulyani, Bang. Dia tetap punya stance atau prinsip walau disikut kiri-kanan. Apa lah arti terpisah dengan keluarga demi mempertahankan idealisme untuknya?”  Ahh … tiga nomor berikutnya, Kakak membuat kesalahan berturut-turut. Karena tidak teliti, dan sepertinya ada satu nomor yang dia tebak. Salah delapan.
“Kalau begitu, sambil jalan saja pelan-pelan. Kalau ada kesempatan belajar lagi di dalam negeri, berarti kan bisa dua-duanya. Bisa melanjutkan belajar, dan dekat dengan keluarga. Bersyukur saja dulu dengan apa yang kita dapat dari Allah. Bersyukur untuk setiap yang Allah takdirkan untuk kita jalani. Bersyukur memang tidak mudah. Tapi cuma dengan syukur kita tidak berfikir macam-macam sama Allah jadi hati bisa lebih lapang, langkah lebih ringan, dan hidup tanpa beban”. Well, he is always right. Damn, absolutely right!
Jadi,  sekolah di dalam negeri? Aaaa … Neng merengut dalam hati. Bagaimana rindunya dengan bunga sakura? Lhooo … jadi mau mewujudkan idealisme atau jalan-jalan?
Empat puluh soal dikerjakan Kakak dengan tuntas. Nomor ke-38 dilingkarinya karena jawabannya tidak ada, tentang jumlah rusuk pada bangun prisma segi enam. Dia selalu senang jika ada soal bonus. Konsep bangun dan ruang sebangun, volume bangun bersusun, membaca diagram, menyimpulkan median dan modus, bahkan mean dengan frekuensi berbeda Kakak sudah faham. Tapi, lagi-lagi kelemahannya adalah ketelitian menjumlah seperti nomor 39. Keseluruhan, salah Sembilan. Hasil yang sangat melegakan untuk seorang bocah ‘labil’ yang selalu bertanya cara pengerjaan sepanjang soal saat ditemani.
Dan sepertinya, Neng harus berfikir ulang lagi soal sekolah dan membawa keluarganya melihat dunia luar. Karena satu dan lain hal, keluarganya tidak bisa menemani sepanjang waktu dia sekolah nanti. Sebelum benar-benar menyesal karena menyia-nyiakan kesempatan … bukan … bukan sekedar kesempatan … tapi kehormatan menjadi pembimbing secara moral dan intelektual jagoan-jagoan kecilnya. Kehormatan yang walaupun kelak hanya tertumpuk di antara ingatan akan jasa guru-guru mereka, tapi akan menyisipkan kebanggaan di hatinya kan? Bahwa dia bukan sekedar menjadi perempuan, menikah dan menjadi Ibu. Bahwa dia, dengan seluruh kekuatan yang mampu diberikannya, telah berusaha menjadi lebih dari sekedar Ibu. Menjadi pendidik yang mengawal perkembangan perilaku dan nalar anak-anaknya. Bersyukurlah, Neng, seperti kata Abang. Seperti itu juga hakikat pengabdian, bukan?🌾

Komentar

  1. Menjadi idealisme bukan kriminalitas, tapi memang perlu ada yang harus dikorbankan Jie...ironisnya kadang pengorbanan itu dianggap sebuah kejahatan yang tidak bisa ditolerir...tergantung kamu memulainya dengan cara yang bagaimana...pilihan membawa suatu resiko, entah baik atau buruk, itu juga tergantung kita memulainya darimana...

    BalasHapus
    Balasan
    1. dahsyat, maaannn ... pokok e, darimana pun mulainya, keluarga harus jadi pertimbangan utama, masss.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjernihkan Nurani

Assalaamu'alaikum, Krisna

Demi Buah Salak