Senyum Eiichi

Rasanya berlebihan sekali kalau senyum seseorang bisa menjadi pelipur lara yang begitu ampuh. Karena bisa saja dia hanya mencoba ramah sebab pembawaannya yang ramah. Tapi, senyum yang tulus terpancar itu menjadi begitu berarti saat engkau merasa sendiri, terasing, bingung dan hampir kelaparan.

Saat tiba di Narita dan bertemu dengan sekitar 40 orang penerima beasiswa lainnya dari 15 negara berkembang saja Neng sudah berkecil hati. Setiap mereka minimal membawa 2 koper paling besar, 1 koper besar, dan 1 ransel. Cuma Neng saja yang kelihatan santai dengan hanya membawa 1 koper besar dan satu tas ransel. Mereka siap menghadapi perbedaan cuaca dengan pakaian dan makanan. Mereka siap menikmati hidup dengan bermacam sepatu dan peralatan olahraga. Sedangkan Neng? Ketika berkemas saja dia berhitung membawa baju sekedar cukup untuk 7 hari,  beberapa bungkus Indomie,  3 bungkus bumbu pecel. Giiiee…kapasitas bagasi dan bayangan repot mengangkat-angkat koper kerap menghantuinya.

Masalah lain adalah perbekalan uangnya. Sebelum berangkat berkali-kali dia memastikan ke seorang teman yang sudah pulang dari Jepang. Katanya, pihak pemberi beasiswa akan langsung memberikan tunjangan bulanan segera setelah mereka sampai. Jadi, Neng percaya diri saja menukarkan Rp 1.080 ribu yang cuma jadi 10 ribu yen. Penyebab lainnya, dia fikir suami dan keluarganya membutuhkan uang lebih banyak untuk perawatan anak pertamanya yang sedang dirawat di RS karena demam berdarah. Jadi, dia ‘nekat’ berangkat ke negeri orang dengan bekal uang 10 ribu yen plus cek pelawat senilai $15o.

Menginjakkan kaki di terminal 2D Soekarno-Hatta saja, dadanya terasa sesak. Ia hanya menyisipkan doa semoga si Kakak lekas sembuh dari penyakitnya. Hhhh ... "Ibu macam apa aku?" rutuknya dalam hati. Ini kali kedua Neng diterima beasiswa. Kali pertama mendapat beasiswa di tahun 2006, dia harus mengundurkan diri karena hamil. Untuk bangkit dan ikut seleksi beasiswa lagi bukan hal mudah. Perlu tiga tahun untuk membangkitkan kepercayaan diri dan pikiran positifnya.

Dan kali ini, ketika paspor dan visa sudah di tangan, tiket pesawat telah diperoleh, cek pelawat bahkan bea fiskal sudah ditransfer, dia harus minta penundaan karena anaknya sakit? Apa sanggup dia mengganti biaya perjalanan yang sudah dikeluarkan sponsor? Atau, bagaimana kalau mereka tidak terima permohonan tunda dan malah membatalkan beasiswa? Ya sudahlah ... ikhtiar mencari rumah sakit dan dokter keluarga yang terpercaya, lalu serahkan semuanya kepada Allah. Dia-lah sebaik-baik Pemelihara. Mungkin ini (hanya) ujian mental. Sighhh....

Jadi, beban mental dan bekal materi yang pas-pasan membuat Neng merasa masih terbang di atas awan meskipun sudah menginjakkan kaki di Narita. Mereka lalu dibawa dengan bus menuju karantina di Universitas yang jauuuuuuhhh (sebenarnya tidak sejauh itu) dari hingar bingar Tokyo. Ke International University of Japan - namanya - di Urasa, prefektur Niigata.
Rasanya bus itu hanya dua kali berhenti di rest area, lajunya saja bagai kereta luar kota Gambir - Yogyakarta, tapi kok ya ga sampai-sampai juga ya?
Meskipun lanskapnya gunung, gunung, gunung, gunung dan gunung, tapi untungnya konstruksi jalan di Jepang dibangun rata, tidak turun naik. Jadi, kalau ada gunung yang menghalangi di depan, maka gunung itu akan ditembus dengan terowongan.
Perjalanan jauuuhhh dengan keluar masuk berkali-kali terowongan serasa membawa Neng ke mesin waktu yang membuatnya menjauh dan semakin menjauh dengan tanah yang biasa dipijaknya selama 30 tahun.
"Tuhannn, aku ingin pulang" ... "Tuhan, apa kabar keluarga ku?" ... "Tuhan, apa Kakak baik-baik saja?"

Sayangnya, mereka tiba hari Sabtu dan uang saku pertama akan dibagikan setelah orientasi di hari Senin. Ahhh ... pecah juga yang 10 ribu Yen. 
Mungkin, bagi semua peserta dari berbagai negara itu, perjalanan ini tidak mudah. Karena seperti Neng, mereka juga meninggalkan zona nyaman mereka di kampung halaman, keluarga mereka yang seharusnya mereka rawat dan lindungi.
Dan Neng sangat merasa ...

Hari kedua, minggu sore, ketika semua orang riuh berkumpul di dapur untuk urusan perut. Neng berkesempatan berkumpul dengan teman-teman dari Indonesia. Saat itu, mereka hanya berlima dan tentu saja belum lama kenal. Tapi, guyonan selama mengolah bahan makanan (yang hanya kol dan wortel serta beras tiga cangkir) begitu segar mencairkan suasana. Sungguh, beban di dada berangsur-angsur berkurang. Sebenarnya, Neng sudah lupa apa isi guyonan itu. Tapi, ia merasa mendapat lingkungan yang dia kenal, dekat, dan nyaman seperti keluarga.

Tidak lama setelah selesai makan ... senior di universitas itu mengenalkan mereka dengan mahasiswa Jepang yang menjabat sebagai Presiden ISC (International Student Council). Bahasa Inggris nya fasih, mahasiswa MBA, manager di ... mmm ... di mana ya?? Neng lupa karena senyumnya. Hehehehe .... wajahnya halus seperti ... kalo ga salah: Lee Min Ho. Dan tentu saja dia ramah, sangat ramah, karena menyambut 'calon rakyatnya' kan? 

Teman-teman silih berganti memberi pertanyaan, dan dia ... Eiichi namanya ... telaten sekali menjawab dengan senyum tetap mengembang. Bla ... bla ... bla ... dari balik punggung seorang kawannya, Neng memperhatikan wajah cerah dengan senyum ramah itu. "Ya ampuuun, akan seperti itu kah lingkungan baru yang akan ku jalani?", batinnya, "Memahami kami sebagai orang (yang merasa ter)asing, jauh dari keluarga, akan bekerja keras bertahan dengan cuaca berbeda, menyingkirkan emosi dan kerinduan ingin pulang demi lulus membawa ijazah, mengacuhkan kewajiban di tanah air demi harapan hidup yang lebih baik".

Senyum itu, kesan pertama dari negeri matahari terbit, jujur saja ... membuat dadanya lebih plong dan sedikit lebih siap menjalani hari-hari barunya sebagai pelajar di tanah orang. 
(^_^) 🌾



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjernihkan Nurani

Assalaamu'alaikum, Krisna

Demi Buah Salak