Memuliakan Istri? Emang Bisa?

Hari itu, atau lebih tepatnya, malam – senin malam – itu, waktu beranjak menunjukkan pukul 21.15 waktu ruang badan anggaran DPR RI. Sudah sembilan jam lebih Neng bersama rombongan wakil Pemerintah menunggu skors sidang belanja pemerintah pusat dicabut. Dari desas-desus yang beredar, para anggota dewan yang terhormat sedang melakukan lobi realokasi dari penghematan belanja. Neng inginnya sih pulang, karena mulainya saja tidak jelas, apalagi selesainya. Jam berapa dia akan pulang? Tapi,  bahan tayangan yang menjadi tanggung jawabnya kali ini ada sesuatu yang di luar kebiasaan dan dia merasa punya tanggung jawab moral untuk mengawal sampai proposal itu mulus disetujui. Jadilah dia harus bertahan.
Di antara kejenuhan menunggu , kelelahan yang menggerogoti semangat, dan kantuk yang mulai menggerus kesadaran, seorang kawan menyodorkan telepon seluler pintar nya. Dia menunjukkan update status rekannya yang lain, “Muliakanlah istri, maka rizki mu akan lancar” dengan latar belakang  foto seorang istri berpose duduk sambil bersandar mesra ke suaminya persis seperti foto almarhum Uje dan ummi Pipik yang disandingkan di sampingnya.
Neng spontan bertanya ke kawannya itu,”Ha? Muliakan istri? Emang gimana cara memuliakan istri, bu?”
Buat Neng, anjuran itu sangat mengherankan. Sepengetahuannya, yang dia fahami, memuliakan itu sesuatu yang berhubungan dengan emosi. Laki-laki bukannya lebih banyak menggunakan logika ya?
Memuliakan ibu, mungkin bisa lebih dicerna, karena seorang ibu yang telah melahirkan dan membesarkan para lelaki sehingga menjadi seseorang di masa kini tentu sangat berhak dimuliakan.
Tapi istri? Okelah istri telah melahirkan keturunannya. Tapi, gara-gara beristri dan berketurunan penghasilannya harus dibagi, sehingga dia harus berusaha ekstra supaya bisa punya uang untuk bersilaturrahim dengan ibunya yang jauh di mata. Setahun sekali, paling sering.
Okelah istri yang membereskan rumah nya, menjadi tangan kanannya mendidik anak-anak, menyempatkan waktu memasakkan sarapan atau di hari liburnya, mencuci pakaian dan menyetrika saat asisten tidak di rumah. Tapi, para istri cerewet minta ampun soal jatah uang belanja kan?
Okelah istri membantunya mencari nafkah demi bisa menutupi kekurangan jatah bulanan, bayar uang sekolah, menyisihkan tabungan biaya pendidikan masa depan anak-anak, menomboki uang ke dokter saat reimburse tidak cair-cair. Tapi, para istri sering menuntut suami berusaha lebih demi ambisi mereka punya rumah bagus dan kendaraan nyaman, kan?
Jadi, apa yang bisa membuat anjuran itu ditangkap oleh para lelaki sebagai sesuatu yang akan berdampak positif buat ego dan kehidupan berkahnya?
Atau, pertanyaan itu ada di benaknya karena Neng lupa bagaimana Abang memuliakannya???🌾

Komentar

  1. Memuliakan istri menurut aku (ini menurut aku looh Jie...) adalah ketika seorang suami bisa menjaga istrinya disegala hal serta telah memberikan nafkah lahir dan batin sama persis (setidaknya terpenuhilah...) dengan nafkah lahir dan batin yang suami butuhkan...jadi jangan berharap lebih (jangan lihat foto Uje sama istrinya...itu cuma gambar, gak akan bisa kita terpuasi oleh gambar...) simple aja kok...lagipula memuliakan istri pada setiap suami itu beda beda bentuk dan takarannya...jadi sebaiknya bersyukur saja ketika suami telah memberikan lebih dari apa yang kita butuhkan...hehe...gimana ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mmm ... aku dah balas lewat e mail blm ya? He he..
      Setiap orang perlu waktu utk jadi dewas dan bersyukur. We're getting much better these days 😃
      Terima kasih pencerahannya, ya mas. Org update gambar bahagia, justru karena pandai menutup galaunya yaaa?

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjernihkan Nurani

Assalaamu'alaikum, Krisna

Demi Buah Salak