Di Bawah Matahari yang Sama

Hari berganti lagi, matahari pagi bersinar hangat seperti biasa. Semua orang punya kesibukan masing-masing di gang sempit kampung itu. Ada yang bersiap sekolah, bekerja, memasak, menyapu, berjualan sayur, belanja. Di antara gerak cepat orang pagi itu menjemput takdir dan mengukir garis kehidupannya, langkah-langkah gontai seorang ibu-ibu gendut menghantar bungkusan mukena kecil kepada bu guru Liza, “Punya Rani ketinggalan”, katanya sambil mengulurkan tangan.
Bu guru Liza mengambil mukena dari tangan adiknya itu, nanti dia akan berikan kepada Rani, keponakannya, di kelas 4 SD Islam.

Mereka berpapasan dengan Lina yang dibonceng anaknya. Bungsu dari tiga bersaudara itu akan bekerja di kota, setiap hari.
 Liza dan Lina saling bertukar senyum, sedikit sekali, terlihat terpaksa.
Yang ada di kepala Lina hanya keprihatinan, mungkin sedih, bahkan sedikit kecewa. Ga tahu kalau bu guru Liza.

Lihatlah si tengah, Lida, apa yang dia lakukan setiap hari di rumah? Menjadi single parent seharusnya tegar karena harus mencari nafkah juga buat anak-anaknya. Tapi Lida nampaknya lebih suka menganggur.

Sebelum enam bulan yang lalu, Lida masih bekerja, administrator di Perusahaan jasa kontraktor pemasok kepentingan perusahaan minyak. Gajinya di atas UMR sedikit, tapi jelas lebih besar dari bu Guru Liza, si sulung.

Sudah lima tahunan kali ya, Lida bekerja di situ. Cukuplah memenuhi kebutuhan pokok dia dan dua anaknya. Kebutuhan sekolah anak-anaknya dibiayai patungan antara bu Guru Liza dan Lina. Dan, tibalah 6 bulan lalu, konon katanya Lida sakit sampai mau pingsan, otaknya sudah ga nyambung kalau diajak mikir. Gula darahnya jauh di atas normal, kolesterol meroket, tekanan darah jadi tinggi. Kepalanya pusing dan mual. Puskesmas merekomendasikan rawat jalan ke RS yang tipe nya lebih tinggi. Karena kartu BPJS nya ga aktif, dirujuk ke RSUD.

Lina yang mengantarnya. Lida masih sanggup menghabiskan sarapan bubur satu porsi, makan siang dengan soto diaduk sambal rasa yang pedas, biar enak katanya. Lina yang sehat justru ga enak makan karena ga tenang. Hari itu seharusnya dia dan teman-temannya dikumpulkan pak Bos besar karena ada peraturan baru. Lina izin absen demi menemani Lida ke RS.

Lida dipecat, kata bos nya sih supaya Lida bisa konsentrasi sembuhin penyakitnya dulu.
Keluarga memaklumi, Lida menjadi orang tua tunggal yang menganggur dan sakit.

Perawatan Puskesmas yang diandalkan kadang manjur, kadang mengkhawatirkan. Atau sebenarnya Lida saja yang melebih-lebihkan. Sampai suatu ketika, di sebuah malam Jumat, dia memutuskan minta dirawat di Puskesmas, padahal kartu BPJS nya belum 45 hari aktif. Apa dia betulan sakit? Lina menemaninya semalam di Puskesmas dengan perasaan jengkel. Orang ini banyak mengeluh tambahan sakit ini, pipis berdarah, ga bisa BAB ke suster. Ya aamppuuun, kok penyakit seneng banget sih sama dia? Yang jelas, raut wajah Lida ga bisa nutupin senengnya saat buka internet di handphone pake koneksi wifi Puskesmas. Yaaa Tuhan!!!

Dua hari di Puskesmas Lida memutuskan pulang, sebelum direkomendasi dokter. Hari Sabtu, semua orang masih ga nganggur dan punya urusan sendiri-sendiri. Padahal, paginya dia masih cerewet minta diambilkan baju ganti sama anaknya. Dia jalan pulang sendiri, gara-gara menghubungi lewat whatsapp ga ada yang jawab.

Bu guru Liza cerewet bilangin Lida supaya banyak bergerak di rumah. Tumpukan pakaian dirapikan, lantai dipel, dinding diberisihkan, kamar tidur ditebah, debu dilap. Supaya menyalurkan energi, menghilangkan pikiran negatif. Adiknya, Lina mulai dari pelan sampai emosi menyuruhnya mulai baca Quran, jangan ninggal sholat wajib, tambah sholat sunnah. Supaya fikiran dan hatinya jadi positif dan tenang. Tapi yang sering nampak kalau kedua saudaranya datang, Lida sedang berbaring memeluk telepon genggam. Lihat update an orang yang jalan-jalan sama suami, ketawa-ketawa, belanja-belanja lah. Bukannya cari lowongan kerja :(

Hampir empat bulan nganggur, ada kabar gembira di hari selasa. Lida mulai kerja lagi di pabrik bantal. Tugasnya memasukkan apron ke dalam sarung. Gajinya Rp1,2 juta. Bu Guru Liza dan Lina sangat senang dan lega. Bukan karena mereka akan lepas tangan secara materi, tapi lebih karena Lida akan punya aktivitas, berinteraksi dengan orang, semoga fikiran negatifnya bisa hilang dan mulai jadi lebih sehat.

Belum seminggu kerja, Lida sudah rewel di hari Sabtu minta diambilkan nomor antrian RS rujukan. Katanya gula dan kolesterolnya naik lagi, dia ga bisa kerja dulu. Lina mendaftarkan, ternyata baru dapat nomor berobat sebulan kemudian. Lida nganggur lagi :(

Sudahlah, Bu Guru Liza sudah tertatih-tatih menata hidupnya. Membiayai satu anak yang masih SD, dan satu anak piatu yang dirawatnya, dengan gaji guru SD yang di bawah upah minimum dan penghasilan suami yang tak menentu dari kerja serabutan.

Sudahlah, Lina sering menghibur diri mungkin penghasilannya sesungguhnya rizki kakaknya yang datang melalui dia. Beri saja uang belanja untuk Lida semampu Lina. Penuhi kebutuhan sekolah anak-anak Lida lewat bu guru Liza.

Sudahlah, entah Lida sebenarnya memang tengah mati-matian berjuang dengan penyakitnya. Atau dia belum menemukan cara menyembuhkan luka hati karena perceraiannya. Atau, jangan-jangan dia nyaman tanpa bekerja pun, dia masih bisa menyambung nyawa.🌾

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjernihkan Nurani

Assalaamu'alaikum, Krisna

Demi Buah Salak