Pada Saatnya, Badai pun Berlalu

 

Di tahun ketiga pelarian dirinya dari hiruk pikuk Jakarta, Neng sudah lupa sama sekali bagaimana rasanya stress dan depresi. Suasana Yogyakarta, pemandangan, orang-orangnya, dan strateginya mengkondisikan diri sepertinya ampuh menyembuhkan sakit mental yang dulu sempat membuatnya seperti bukan manusia. Ahh … membayangkan rasanya dulu seperti apa dia sudah lupa. Dia hanya tahu, dulu pernah merasa tertekan setiap hari, selama tiga tahun, dengan kecemasan yang sulit dikendalikan, hingga sering berharap saat menjelang tidur, ditakdirkan tidak bernafas lagi di pagi hari.

Suatu hari di pagi yang cerah, hari ke-24 bulan Ramadhan, Neng menyadari kemewahan yang dia miliki setelah berhasil menyelesaikan tugas-tugas sebelum tenggat waktu. Fisiknya berhak mendapat relaksasi. Neng memutuskan untuk merekonstruksi ulang kejadian yang membuatnya menyingkir ke Yogya dan bagaimana dia berproses mengatasi depresi. Mudah-mudahan bisa menjadi pelajaran.

Anxiety Disorder. Penyakit mental yang menyebabkan kecemasan luar biasa, membuat dadanya berdebar-debar, logikanya tertutup, sehingga sulit berfikir. Kecemasan ini datang sekonyong-konyong hingga tubuhnya lemas dan tidak nafsu makan. Dia tidak pernah khawatir dengan hasil pekerjaannya. Tapi cemas itu selalu datang dengan hebatnya dan begitu sulit meredakannya, bahkan Ketika dia berusaha sekuat tenaga untuk mengalihkan fikirannya dengan mengerjakan tugasnya dengan detil. Kondisinya diperparah dengan perasaan inferior, merasa tidak kompeten, bukan bidang yang diminati, dan perasaan ditinggal saat menyelesaikan tugas yang tidak kunjung selesai.

Dalam tekanan kecemasan dan penuh beban, Neng begitu ingin berhenti bekerja. Melepaskan tanggung jawab moral dan intelektual barang sejenak saja. Himpitan kebutuhan biaya karena suaminya pensiun dini namun belum mendapat penghasilan lagi, sementara kakak perempuannya yang janda dengan dua anak yang masih sekolah butuh penopang, membuatnya tidak berdaya. Dia tidak punya pilihan selain harus tetap bekerja. “Tuhan, toh hanya Engkau Sang Pemberi Rizki. Tanpa keberadaan hamba, toh Engkau kuasa memberi mereka rizki, Tuhan.” Mantra itu diulangnya berkali-kali menggantikan zikir yang tak kunjung mampu membawa ketenangan.

Meski sering berharap tidak lagi bangun keesokan hari, sejujurnya Neng takut mati. Kematian adalah gerbang kehidupan lain dengan ketersiksaan yang luar biasa pedih, unbearable. Dia pun tak sanggup membayangkannya. Itulah keadaannya, tidak berani hidup tapi takut mati. Lalu kenapa tidak mencari pertolongan? Ke Psikolog?

Kantornya menyediakan klinik konsultasi Kesehatan mental. Tapi, dia tak sanggup membayangkan harus menyampaikan nama dan unit tempatnya bekerja karena bagaimanapun akan menjadi bahan evaluasi. Bagaimana kalau sampai pimpinan unitnya tahu ada pegawai stress di tempatnya? Padahal, yang lain biasa-biasa saja dengan tugas yang relatif sama. Neng lalu meng-googling barangkali ada klinik psikolog swasta di dekat rumahnya. Hanya tersedia di rumah sakit, dan masa itu pandemi Covid-19 sendang menggila. Jadilah dia harus berusaha bertahan mengatasi mentalnya yang sedang labil selabil-labilnya.

Berhenti bekerja tidak mungkin, mati takut, lanjut bekerja tidak kuat mengatasi cemas. Tiba-tiba ada tawaran pindah unit kerja sebagai program besar organisasi, untuk menajamkan kompetensi, memperkaya pengetahuan dan pengalaman. Mungkin, pindah unit ini bisa jadi solusi. Dengan pekerjaan baru, Neng berfikir bisa memulai dari nol dan tidak lagi menjadi tumpuan. Bebannya akan berkurang, mungkin cemasnya akan pergi.

Singkat cerita, kepindahannya terjadi juga. Ketika Neng sudah pasrah ke kota mana pun penempatannya, ternyata dia berlabuh di Yogya. Menjadi orang baru di mana pun ternyata sama saja. Tidak ada cerita memulai dari nol. Neng dituntut untuk berlari. Mengeksekusi kegiatan-kegiatan yang masih belum berjalan di penghujung tahun 2021, langsung menjadi narasumber topik yang baru dikenalnya, menangani konsultasi, plus tugas-tugas menulis laporan yang nyaris semua didisposisi kepadanya. Sudah tenang kah hidupnya? Hilang kah kecemasannya? Belum.

Dia masih cemas apakah kompetensinya cukup, tugasnya bisa selesai? Keseruan bertambah dengan sikap resisten semua rekan kerjanya. Awalnya, tugas yang didispo kepadanya harus dia yang menyelesaikannya. Tidak ada sikap kolaboratif, semua berfokus mengerjakan pekerjaan inti saja. Tidak ada yang berinisiatif mengoordinir dan menggerakkan untuk pelaksanaan kegiatan yang sudah dijadwalkan. Mantranya pun berubah, “Tuhan, hamba sudah terlempar sejauh ini. Hamba harus bertahan. Tolong redakan kegelisahan ini, tolong kurangi beban ini”.

Hari demi hari dijalininya untuk mencoba bertahan. Menunggu jadwal pulang ke homebase dua pekan sekali membuat waktu baginya berlalu dengan cepat. Dia mencoba pasrah dengan pekerjaan sambil berusaha menyelesaikan semampunya. Memaksa mencari mood dan inspirasi menulis laporan demi laporan dengan jalan ke gunung hingga ke pantai. Sampai-sampai dia nekad membeli mobil secara kredit. Untuk menyemangatinya bekerja karena punya kewajiban bayar cicilan.

Akhirnya, dia menjalani waktu demi waktu dengan begitu cepatnya. Rutinitasnya melihat gunung Merapi yang gagah di utara, bentangan sawah nan hijau, serta lekuk selokan mataram yang anggun membuat otaknya rileks dan santai. Dia juga membombardir hatinya dengan ilmu-ilmu tauhid hasil menjadi santri Gus Baha secara virtual. Ditambah lagi, berusaha komitmen shalat berjamaah di kantor untuk menguatkan hati bebannya runtuh terbagi dengan imam dan makmum yang lain.

Setelah tahun ketiga menjalani “pengasingan”, dia pun benar-benar takjub karena ternyata pada saatnya, badai benar-benar berlalu.🌾🌾

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjernihkan Nurani

Assalaamu'alaikum, Krisna

Demi Buah Salak