Jendela Kita yang Baru


Ada banyak jendela di rumah kita. Tapi itu tidak membuat dalam rumah kita bermandikan cahaya. Dua jendela di antaranya hanya jendela kamar di lantai atas yang sekadar memberikan jalan untuk udara keluar masuk agar tak pengap.

Ada juga jendela pembatas teras di lantai atas  yang kita buat secara darurat. Penyebabnya, partisi pembatas teras atas dengan kamar yang terbuat dari papan telah rapuh dimakan rayap. Sementara, jika partisi itu dibuka, ada rongga tanpa penutup dari arah balkon menuju ke dalam rumah kita. Bahaya jika dibiarkan terbuka. Jadilah papan-papan yang masih tersisa dari gigitan rayap kau sulap jadi penutup rongga tersebut.

Satu lagi  ada jendela di kamar kita … hhhh … aku juga bingung kenapa harus ada jendela itu di kamar itu? Jendela tanpa kaca dengan teralis horizontal yang kaku lebih mirip tangga. Karena kita menempati rumah peninggalan orang tuaku, jadilah kita juga mewarisi jendela ‘tangga’ itu. Ruangan itu sendiri sekarang menjadi kamar kita. Karena anak-anak masih belum berani tidur jauh dari kita, jadilah di ruang itu kita berempat bagai pengungsi. Jendela tangga itu kau tutup tripleks supaya bisa menunjang  fungsinya sebagai  kamar.

Kemudian, ada jendela yang membatasi ruang utama di lantai bawah dengan teras depan. Engselnya sudah agak rusak. Kalau kita berusaha membukanya, akan sangat sulit untuk membuatnya rapat kembali. Perlu dorongan yang kuat, “Brakkk!!!” barulah daun jendelanya akan tertutup. Jika saja tidak ada yang salah dengan jendela ini,  udara akan banyak masuk jika dibiarkan terbuka. Tapi terus terang, aku juga kurang suka dengan jendela ‘warisan’ ini. Teralisnya terlalu banyak lekuk, dan daun jendelanya terlalu banyak bingkai yang membuatnya sulit menjadi ‘kinclong’ kalau dibersihkan.

Jendela yang lain ada di dinding samping  ruang utama. Ahhh… untuk apa juga ada jendela itu? Karena jika terbuka, hanya akan menghadap halaman tetangga. Belum lagi jika hujan, cipratan air masuk lewat ventilasi di atas jendela. Aku setuju sekali saat kau menutupnya.

Jendela terakhir kau yang membuatnya. Jendela ini menempel di dinding garasi motor kita. Bentuknya hanya persegi panjang dengan tinggi yang hampir menyentuh atap dan menyentuh tanah. Lebarnya hanya sepanjang lenganku. Jendela ini kau buat menggantikan jendela ‘warisan’ yang lama. Menurutku, jendela baru ini jauh lebih elegan dan lebih mudah dibersihkan. Sayangnya, kau belum punya uang untuk membuat teralisnya.

Suatu hari kau bawa contoh berbagai model teralis dan meminta aku memilih model mana yang aku suka. Seminggu kemudian, heiiii!!! Jendela itu tampak anggun dengan teralis barunya. Model pilihanku sederhana saja, tapi begitu manis saat sudah terpasang. 

Bentuknya didominasi oleh tangga, dengan matahari di puncaknya. Seperti sebuah filosopi hidup. Kita menaiki tangga untuk menggapai matahari sang cahaya. Seperti itulah selayaknya jendela-jendela di rumah kita.

Karena jendela yang bisa membuat kita melihat ke luar rumah; menyaksikan hujan atau sekedar melihat sudah berapa tinggi matahari siang. Melongok burung apa yang berkicau di dahan kecapi, atau menatap takjub angin yang mengombang-ambingkan pohon-pohon pisang. Jendela juga pintu untuk cahaya dan udara.

Satu jendela telah kita buat jadi baru. Semoga semua jendela kelak bisa kita buat jadi baru. Supaya mencerminkan apa yang kita ingin lihat di luar rumah kita, atau apa yang kita saksikan di dalam dari luar rumah kita. Karena jendela bukan hanya sekedar jendela rumah, tapi juga jendela hati kita.🌾

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjernihkan Nurani

Assalaamu'alaikum, Krisna

Demi Buah Salak