Nama Bapakku


“Salam ya, sama mas Sarbini”, heiii … aku masih suka terkejut sambil sedikit geli kalau ada teman yang berusaha familiar dengan keluargaku. Tapi … emang loe pikir siape mas Sarbini? Hahaha …

Aku memang menulis nama seseorang di belakang namaku sebagai identitas di dunia maya. User name, facebook ID, atau alamat e-mail. Kalau perempuan yang lain menulis nama suaminya di belakang nama mereka, aku memakai nama bapakku di belakang namaku.

Selain ‘salam sok akrab’ di atas, ada juga pengalaman menggelikan saat disangka aku seorang lelaki karena menyingkat nama tengahku sementara nama depanku adalah nama yang cocok baik untuk lelaki maupun wanita.

Seorang sempai di kampus saat kutanya mengenai pengalamannya lewa facebook menjawab,
“Iya mas Puji, Fall term memang yang terberat. Tapi  insya Allah selanjutnya bisa dilalui dengan santai, kok”.
Mungkin, ia menganggap Puji yang bertanya adalah seorang suami yang sangat sayang keluarganya sehingga memasang profile picture istrinya dengan baju biru dan menggendong bayi berusia dua tahunan. Tentu saja itu profile picture ku. 

Aku sih berfikir lucu-lucu saja dikira mas-mas. Dengan tak lupa mengucap terima kasih, aku perkenalkan siapa sesungguhnya diriku, “Terima kasih, Pak atas pengalaman yang sudah Bapak bagi. Tapi,  omong-omong, nama tengah saya Astuti dan saya lebih suka dipanggil mbak”.
Tentu saja dia meminta maaf, tapi jujur aku merasa tidak perlu marah karena ketidaktahuannya. Malah, lucu.

Kali yang lain, adik kelas di mailing list kampus membalas e-mail ku,
“Terima kasih ya, mas Puji atas kiriman contoh-contoh soalnya”.
Lalu, kawan satu angkatan menjawab dengan guyon,
“Hah?? Baru tahu kalo mbak Puji sudah jadi mas. Hihihi …”
Lucu.  Dan aku tidak merasa perlu marah dengan mereka.

Terakhir, aku berkirim e-mail menanyakan suatu topik yang baru terlintas di benak setelah sebuah pelatihan di luar negeri selesai. Dan aku lupa menulis tanda Ms di belakang namaku yang sebenarnya sudah ku niatkan.
Jadilah, pembicara itu menjawab, “Dear Mr. Sarbini , thank you very much for your e-mail …”
Hahaha … cukuplah aku membalas terima kasih atas jawabannya. Soal Mr or Ms, sudahlah …

Teruzzz, kenapa aku lebih memilih nama Bapakku sebagai identitas? Apakah aku tidak cinta dengan suamiku? Tidak bangga dengan suamiku?

Alasan pertama, aku pernah baca buku, kelak di padang masyhar setelah semua orang dihisab dan ketika orang-orang akan ditempatkan di surga atau neraka, maka hamba-hamba Allah itu akan dipanggil dengan nama ayahnya, “Pujiastuti binti Sarbini” …

Sekedar guyon, kalau aku pakai nama suamiku, aku khawatir saja nanti tidak ‘ngeh saat dipanggil di padang masyhar karena terlalu lekat dalam fikiranku seharusnya aku dipanggil “Puji Sugihardjo ... Puji Sugihardjo”. Bayangkan … setelah semuaaaa orang telah tahu tempatnya, aku masih menunggu dipanggil.

Alasan yang lain, aku pernah baca juga seseorang tidak boleh menasabkan dirinya kepada selain ayahnya. Ingat cerita Nabi saw yang memanggil Zaid dengan seolah-olah Zaid adalah anak Nabi saw? Nabi saw langsung ditegur Allah dalam Alquran.
Aku sekedar ingin menjalankan hal mudah yang aku bisa. Menasabkan diriku kepada Bapakku.

Aku juga ingin berbangga diri dengan berani memakai namanya. Kami orang jawa tidak pernah menggunakan marga. Jarang sekali orang memberi nama anaknya dengan menyertakan nama sang ayah. Aku memakai nama Bapakku karena aku bangga menjadi anaknya. Meski sejak kecil kami jarang berinteraksi, diamnya Bapak kutangkap sebagai wibawa. Jangan pernah membuat Bapak marah, karena dia paling tahan menahan marah. Jadi, kalau Bapak marah, berarti kamu telah melakukan kesalahan buesaaaar sampai dia tidak lagi sabar dengan diamnya.

Bapak juga orang yang konsekuen dengan hidup yang dipilihnya. Mempunyai dua istri adalah pilihan yang sulit, namun ia menganggapnya sebagai takdir dan harus dijalani dengan seadil-adilnya, semampu dia. Suatu sore, Bapak menasihatiku untuk tidak menempuh jalan yang pernah ditempuh nya dengan ibu ku. Saat itu aku mengerti, untuk seorang Bapak, sesungguhnya poligami adalah sesuatu yang tidak mudah. Jadi, Bapak tak mau anak-anaknya meniru apa yang telah menjadi keputusannya puluhan tahun yang lalu.

Yang terakhir, aku ingin dia bangga denganku. Sebagai anak yang terlahir dari istri kedua, ada beban psikologis di masyarakat bahwa aku ada di pihak ‘pengganggu’ keluarga orang. Tentu saja aku juga merasakan ada benih-benih sakit hati dan penyesalan terhadap kami yang begitu senyap. Tapi kemudian, aku tidak tahu apakah hanya dengan bermodalkan anugerah atau juga terlecut situasi, aku berbuat lebih di antara saudara-saudaraku. Prestasi akademik, kehidupan rohani, keluarga dan karir. Dengan menggunakan namanya, aku ingin semua orang yang tahu kalau aku anak Bapak melihat bahwa ‘second class child’ ini bisa tumbuh mandiri. Dan akhirnya membuat Bapak bangga.

Jadi, kelak di padang masyhar … semoga aku tetap membuat Bapak bangga ketika dipanggil “Pujiastuti binti Sarbini” merupakan panggilan untuk salah satu penghuni surga. Aamiin.
Semoga.🌾

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjernihkan Nurani

Assalaamu'alaikum, Krisna

Demi Buah Salak