Di Puncak Yamamoto Yama

Setelah menempuh jalan menanjak dan berliku mengitari hutan-hutan lebat di gunung (yama) Yamamoto, rombongan tiga mobil mini itu sampai juga ke puncaknya, (mungkin sekitar) 2.500 -an meter di atas permukaan laut. Hektaran bunga matahari sengaja ditanam sebagai hiasan musim semi yang akan menyilaukan mata dengan warna kuningnya yang kemilau.

Kuncup-kuncupnya yang kini belum lagi mekar, merunduk takzim seolah sedang khusyu’ berhikmad kepada Sang Khalik.
Dari atas sini, langit begitu dekat. Awan berarak di depan mata dihantar angin senja musim panas di Ojiya. Dan ratusan meter di bawah sana, sungai Sinonem meliuk anggun dengan warna coklat terangnya membelah gedung-gedung perkantoran, perumahan, sawah dan ladang di Ojiya.

Ojiya bagian dari provinsi Niigata, dengan jarak kira-kira 4 jam perjalan menggunakan Shinkansen dari Tokyo. Kalau di Indonesia, ia merupakan kabupaten yang mungkin jaraknya sama dengan Prambanan – Jakarta. Tapi Neng tak perlu membandingkan Ojiya dengan kabupaten yang jauh dengan Jakarta. Membandingkannya dengan Tangerang, kota yang teramat dekat dengan pusat pemerintahan pun sudah nyata bagi Neng, betapa negerinya tertinggal jauh.


Di sini, orang tak perlu bermimpi untuk menjadi sukses di Tokyo karena mereka bisa menciptakan lapangan pekerjaan dan menjalani roda usaha. Jadi pedagang, buka bengkel sepeda, jasa pendidikan, supermarket, bahkan jadi petani. Saat itu, ketika baru dua bulan tiba di Jepang, Neng berkesimpulan: pendapatan tersebar di sini. 

Dengan dukungan irigasi modern, mereka punya traktor, mesin panen, dan alat canggih pertanian lainnya yang bisa membuat pekerjaan bertani jadi ringan dengan hasil maksimal. Sehingga, petani bukan lagi kelompok marjinal yang identik dengan kemiskinan. Kalau materi yang jadi ukuran, maka status menjadi petani bukan sesuatu yang memalukan karena nyatanya minimal satu kendaraan roda empat keluaran terbaru selalu terparkir di garasi mereka yang luas. Maka, kalau tak punya kendaraan sendiri dan tak punya sahabat baik di sini yang bersedia menjemput dan menghantar keliling kota, tak mungkin bisa Neng menikmati pemandangan menakjubkan ini karena sulit menemukan sarana transportasi umum.

Infrasturktur yang kuat dan terawat juga menjadi pendukung tersebarnya pendapatan. Hasil panen berlimpah yang tak bisa dikonsumsi seluruhnya oleh penduduk kota kecil ini harus dijual ke luar kota. Mereka membutuhkan jalan mulus yang bisa mempercepat transfer barang ke luar kota, telekomunikasi yang lancar untuk mendukung usaha, dan prasarana penunjang lain yang memudahkan hidup mereka.
Ojiya dikelilingi gunung, gunung, dan gunung. Tapi jangan bayangkan jalannya akan banyak berlubang karena tanah yang labil atau kotor dan becek saat hujan mengguyur. Mereka punya konstruksi jalan beton yang kuat menyeberangi sungai, melintasi lembah dan menembus gugusan gunung (bukan hanya mengitari). Mereka lebih mengandalkan tekhnologi satelit untuk berkomunikasi melalui handphone, menara-menara pengalir listrik berdiri tegak, dan instalasi gas dibangun untuk berbagai keperluan. Onseng, pemandian air panas di mana-mana untuk bersantai. Ah, kalau orang Indonesia bilang, “Biar pun jadi orang gunung, tapi ga mati gaya!”.
Kota begini kecil, tersembunyi di balik pegunungan, dengan mayoritas penduduk bekerja sebagai petani, tapi begitu menyiratkan kemakmuran dan kesejahteraan.

Sambil menikmati miniatur Ojiya dari atas puncak Yamamoto yama, semua anggota rombongan berbincang. Mas Wahyu, mba Dhefi dan Yudi meladeni Wada – san, petani bersahaja yang giat belajar bahasa Inggris. Mba Yayun meladeni Saika – san, imigran China yang sudah 15 tahun lebih memutuskan untuk tinggal, berkeluarga dan mengajar bahasa Cina di Jepang. Muna sibuk dengan bayi mungilnya yang ingin tidur. Sedang Neng, kenikmatannya memandangi indah lukisan Tuhan terusik bisikan batinnya tentang Indonesia:

Dulu, Jepang juga bukan apa-apa dan jauh tertinggal. Jepang juga Negara kepulauan seperti Indonesia. Tapi, kalau Jepang bisa membangun begini cepat dalam masa 65 tahun sejak luluh lantaknya dibom Amerika, ke mana saja orang-orang Indonesia yang juga sudah menikmati kemerdekaan selama 65 tahun?

Tak sanggup berfikir sendiri, Neng mengganggu keasyikan mas Akmal dan Tirta -- yang tengah mengabadikan pengalaman langka mereka di luar negeri dalam pose-pose elegan-- untuk berdiskusi. Neng berkesimpulan, mungkin hasil diskusi singkat itu ada benarnya. Katanya, karena orang Jepang tidak terbagi dalam suku-suku maka mereka hanya punya satu kepentingan: memajukan semua. Katanya, karena Indonesia terbagi dalam suku-suku maka kita punya banyak kepentingan dan kepentingan ada dibalik kebijakan bagai udang di balik batu. Katanya, banyak kepentingan itu yang sulit menyatukan tujuan orang-orang Indonesia untuk maju. Hmmm….?

Angin sore musim panas berhembus semakin dingin di atas puncak ini. Matahari semakin condong ke barat dengan semburat jingganya yang merona. Tiga mobil kecil itu melaju menuruni gunung Yamamoto dan di dalamnya anak-anak muda Indonesia tenggelam dalam kekaguman, mengambang dalam keraguan. Bisakah Indonesia lebih maju dari Jepang? Hmmmm….?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjernihkan Nurani

Assalaamu'alaikum, Krisna

Demi Buah Salak