Kabut di Mata Mu
Hari Rabu itu Ibu pulang agak malam. Terus terang saja,
Ibu sengaja mencari mood di kantor
dulu sebelum pulang. Membaca catatan Bu Guru di buku penghubung Najib malam
sebelumnya, membuat Ibu harus menebalkan mental, menenangkan hati, dan
mendinginkan otak sebelum mengajarkan pelajaran yang akan dites di ulangan.
Demi membuat Najib lebih terlatih dengan pengurangan bersusun panjang dan
pendek, kemarin malam itu emosi Ibu benar-benar terkuras. Sampai-sampai Ayah
turun tangan.
Bayangkan …
Di buku tulisnya, Najib memperoleh angka 100 untuk 10
nomor latihan matematika tentang pengurangan bersusun panjang. Dengan gaya
bidadari surga yang sabarnya sepenuh langit dan bumi (hehehehe …) awalnya Ibu memberi
petunjuk cara mengerjakan contoh soal …
“Begini lho, De … kalau 45-32, ditulis dulu 45 = …. (untuk puluhan) + … (untuk satuan. Terus
di bawahnya tulis 32= ….. (untuk puluhan) + …
(untuk satuan). Tarik garis paaaaanjaaaang di bawah 32 itu lalu kasih
tanda kurang”.
Eits … Ibu ga cuma ngomong, lho. Tapi mempraktekkan juga.
Meskipun Ibu lumayan terkejut karena seingat dia, dari awal dia kenal
matematika sampai se’tua’ ini (ngaku lah yaaa) baru kali ini dia tahu ada
metode bersusun panjaaaang.
Ibu melanjutkan, “Tulis puluhan dan satuannya. 45
puluhannya berapa De?”
“45, Bu”. Whaaattt??? Ibu mulai ragu angka 100 Najib. “Empat,
Najib. Sekarang tulis di tempat puluhan”. Najib hanya menulis angka 4.”Tambahkan
nol dong Dek di belakang 4”.
Dia menyisipkan nol yang keciiiilll karena terlanjur
menulis angka 4 yang besar.
“Oke. Satuannya berapa?” Najib menoleh ke TV sebentar. Saat
itu Naruto sedang terdesak. “Dek … satuannya berapa?” Kesabaran Ibu mulai turun
level.
Najib menulis dengan benar: 5. Tapi, Ibu kembali harus
mengulangi memberikan contoh untuk pemisahan puluhan dan satuan 32. Dan
berkali-kali Najib tergoda Kakak yang senyam-senyum di depan TV.
”Lalu, yang dikerjakan yang satuan dulu, De. Berapa dikurang
berapa?”
Najib tidak menjawab. Dia masih menoleh ke kartun Naruto
yang distel Kakak.
“Kak. Kamu ga belajar? Kok malah nonton?” Ibu mulai merasa
cemburu dengan TV.
“Mmm … aku pingin nonton dulu …” Jawab Kakak manja. Hmmm …
wibawa dan kesabaranku bisa tersaingi TV nih, bisik batin Ibu. “Matikan TV nya,
Kak. Cepat latihan soal masuk pesantren. Nanti Ibu lihat hasilnya”. Kakak
segera mematikan TV dan terpekur dengan kumpulan soal yang ga selesai-selesai
dikerjakannya. Huffhhh … kemana sih semangat berjuang anak-anak ini? Keluh Ibu.
“Najib … berapa dikurang berapa?” Ibu kembali ke ‘mangsa’
semula …
“Mmm … 4 dikurang 3, bu.” Hahhhh??? Ibu melongok. “Satuannya,
Dek … satuan”.
“5 dikurang 2”.
“Oke, jadi berapa 5 dikurang 2?”
Najib terlihat berfikir keras melihat langit-langit ruang
belajar.
“Jari tanganmu mana De? Jari mu lima dulu.Nahhhh … kalau
dikurang itu seperti diambil. Jadi, dari jari yang lima Ibu ambil 2 nihhh.
Sekarang tinggal berapa jari yang berdiri?”
“Sekarang yang puluhan. Nol nya diturunkan dulu, lalu
angka depannya dikurangkan … Jadi dapat berapa?”
“10 ditambah 3”.Hahhhh … lebih baik, “Jadi berapa hasilnya
semuanya?”
“Mmmm … 10 nya di otak, 3 nya dijari … 11, 12, 13“ Astagaaa
… dia masih perlu berhitung dengan jari untuk menjawab. Baiklah, setidaknya
bisa dapat jawabannya.
Dan Ibu harus mengulangi penjelasan cara mengerjakan
pengurangan bersusun panjang ini untuk soal ke-2, 3, 4 … 10. Dengan emosi yang
turun naik. Kebanggaan saat sekali atau dua dia ingat cara dan benar memperoleh
angka, tawa ketika melihat kepolosan wajahnya di ‘bawah tekanan Ibu’. Dan
gemassss saat terlihat sekali Najib hendak menyerah dengan kantuknya sebelum
membuktikan pada Ibu, bahwa dia mengerti dan bisa.
Ahhh bagaimana Bu Gurunya ya?
Ketika malam beranjak menuju angka 21.30, Najib baru terlihat ‘ON’ dengan ‘ngeh’ yang
dimaksud pengurangan bersusun panjang itu.
Itu pun setelah Ayah memberikan shock therapy mencabut bulu matanya sambil tertawa … (perlu ga sih,
Yah???) dan membuatkan satu mug milkshake
dingin.
Ibu beralih ke pengurangan bersusun pendek. Yang memang
sudah dikuasai Najib. Aduh Deeekkk … maaf ya kamu harus lembur sampai malam
begini untuk cara alternatif yang sebenarnya Ibu juga meragukan kegunaannya.
Buat apa cara berliku-liku seperti itu kalau yang praktis dan lebih digunakan
sudah bisa dikuasai dan mudah dipelajari?
Ahhh … for the sake
of math concept aja kali ya?
Itu kejadian emosional kemarin malam. Dan Ibu ga mau
meneror Najib lagi di malam dia harus menenangkan diri menghadapi ulangan
sesungguhnya Kamis besok. Jadi, Ibu sengaja pulang agak malam Rabu itu.
Tapi … sampai di rumah, tidak ada suara renyah Kakak yang
biasa membukakan pintu sambil bilang,”Assalaamu’alaikum, Bu. Apa kabar, Bu?”
Well … oke … mungkin sudah tidur. Ibu
memasukkan motor di garasi, dan heii … Kakak berpapasan dengan Ibu. Tidak
salam? Cium tangan? Tanya apa kabar? Cemberut?
Kenapa dengan Kakak? Bahkan matanya terlihat coklat.
Wajahnya menahan kesal. Ada apa Kak?
“Ga ada apa-apa, Bu”. Dia ngeloyor ke toilet, buang air
kecil, kembali ke kamar, dan menarik selimutnya. Ahh … Nam sa’idan, Kakak.
Sudahlah … biarkan dulu Kakak bersama mimpinya. Ibu perlu
mengulangi pelajaran Najib. Sedikiiit lagi.
Sebelum Najib mengantuk, walau Ibu sama sekali belum
mandi, apalagi makan, Najib berhasil membuktikan bahwa Ibu no need to worry sama Najib untuk ulangan matematika bab IV besok.
Alhamdulillah … rasanya satu masalah setidakya selesai.
Selamat, ulangan ya Dek. (^_^)
Komentar
Posting Komentar