Senyum Manis Itu Lagi

bagian kedua dari Kabut Di Matamu
“Kak, kok masih cemberut? Ada apa sih, Kak?” Pagi-pagi, sambil membereskan tempat tidur, Ibu mencoba mengejar Kakak. Ga enak banget dicemberutin anak tanpa tahu sebabnya.
Kakak melipat selimut,”Ga ada apa-apa, Bu”. Dia masih mencoba menahan amarahnya.
“Ga ada apa-apa tapi kenapa seperti orang kesal begitu? Ayoo, bilang ada apa?” Maunya sih tegas. Tapi kesannya Ibu malah marah-marah :-p
“Aku ada PE-ER bikin pidato perpisahan. Di sekolah, aku belum belajar  cara buat isinya, Bu”, Alif mendudukkan diri di pinggir tempat tidur.
“Ya … sudah buatnya nanti kalau sudah diajari Bu Guru. Pasti nanti diajarkan kan?” Ibu duduk menemani Alif yang matanya nampak berani menatap Ibu dengan emosi.
“Dikumpulnya hari Selasa pekan depan”, dia mulai terdengar putus asa,”aku tanya Ayah buku cara bikin pidato malah dimarahin. Aku sebel sama Ayah!!! Kenapa sih aku dimarahin melulu?” Nadanya mulai meninggi … heiiii … berhenti, berhenti!
Huffhhh …  beginilah kami, gambaran orang tua masa kini. Mungkin karena terlalu keras bekerja sampai terlalu lelah ketika pulang ke rumah. Badan lelah dan panas karena jalan macet, mengejar kereta. Fikiran penat karena mengejar target seharian. Jiwa letih karena kadang masih merisaukan rizki. Dan, … emosi pun mudah tersulut. Ibu menebak, Alif biasanya bertanya kepada Ayahnya tepat di saat dia membukakan pintu ketika Ayah baru saja tiba di rumah. Emosi Ayah belum tenang.
Jadi, Ibu berusaha memaklumi kemarahan Alif dan memberikan penawaran, “Gimana kalau nanti malam bikin pidato sama Ibu?” Ibu melunak sambil mengusap-usap kepala Alif.
“Ga mau! Aku mau belajar ujian masuk pesantren aja.” Dan that’s it  dia menuju dapur dan mengambil piring. Hmmhhh … setidaknya dia ingat saatnya harus sarapan, batin Ibu.
Lebih baik dibiarkan dulu dia dengan pilihannya. Apa pun itu, Ibu tetap semangat menemani Alif belajar. Jadi, hari itu, Ibu bertekad tak akan ada alasan yang bisa membuatnya pulang terlambat.
Lalu … malam pun datang lagi … dan Ibu sampai di rumah. Kamis malam, 19.00.
Assalaamu’alaikum, apa kabar Bu?” Suara renyah itu terdengar lagi!!! Heiiii Alif sudah mencair.
“’Alaikumusslaam. Alhamdulillah, bi khoir Kak. Kakak baik hari ini?” Lelah Ibu hilang rasanya.
“Bu, aku mau bikin pidato sama Ibu, ya”, senyum Alif mengembang.
“Ooo … baiklah, Kak. Ibu mandi dulu, ya”.
Selesai mandi, tanpa menyempatkan makan malam, Ibu duduk menemani Alif yang sudah terpekur di meja belajar lesehan. “Jadi, kakak sudah tulis apa? Coba Ibu lihat, ya.”  Hmmm … lumayan, dia sudah menulis bagian pembukaan yang sudah dipelajarinya.
“Bu, pakai yang terhormat atau yang saya hormati?”
“Yang saya hormati, kak. Lalu, tambahkan juga salam hormat untuk pendiri yayasan. Karena, kalau Pak Haji tidak mendirikan yayasan, kakak tidak akan sekolah di sini”.
“Jangan lupa memuji Allah, Kak. Lalu mengirim sholawat untuk Nabi Muhammad”.
“Bagian isinya seperti apa, ya Bu?”
“Bagaimana perasaan kakak di hari perpisahan?”
“Senang, Bu”. Lhooo kok Bisa ??? Batin Ibu. Sebelum ditanya, Alif melanjutkan,”karena aku akan dapat teman baru, sekolah baru. Kayaknya asyik, Bu”. Alif senyum sambil menerawang.
“Tapi, kakak engga sedih? Kan akan berpisah sama teman-teman yang sudah bertahun-tahun main bersama?”
“Iya juga, Bu. Temanku sekarang juga enak-enak mainnya. Ga ada yang nakal lagi”.
Walaupun tidak setiap saat Ibu ada di samping Alif, tapi Ibu memperhatikan betul perkembangan anak sulungnya semenjak bersekolah di SDIT Cordova. Di hari-hari awalnya dulu, hampir setiap hari Alif minta pindah sekolah: karena temannya nakal, kakak kelasnya ada yang suka minta uang jajan, tidak senang belajar di kelas, dan merasa jatah waktu bermainnya berkurang.
Bahkan, sampai di kelas V setiap ambil rapor, wali kelasnya selalu melaporkan Alif kurang bisa fokus di kelas. Dia akan terlibat diskusi off-lesson di dalam kelas dengan siapa pun teman yang berada di dekatnya. “Alif itu sosialisasi nya bagus, Bu. Duduk di dekat siapa saja pasti langsung nyambung ngobrolnya.” Hehe … Ibu cuma bisa nyengir di depan bu Guru.
“Alif itu lucu, Bu. Adaa aja ulahnya bikin kelas jadi rame. Kalau suasana kelas sedang sepi karena mengerjakan tugas, tiba-tiba dia cekikikan dan kelas jadi rame”. Itu komentar pak Guru, wali kelas sebelumnya.
“Waa … Alif ini istimewa, Bu. Setiap ada rapat guru, selalu saja namanya disebut dari tahun ke tahun”. Mmmm … Ibu senyam-senyum .
Tapi itu Alif sampai setahun yang lalu. Dan Ibu merasakan benar suasana perhatian dan sayang guru-guru nya di sekolah. Bayangkan, untuk anak se-‘istimewa’ Alif, Ibu tidak pernah mendengar  keluhan dia dihukum atau dimarahi gurunya.
Pidato Perpisahan Kakak
Bahkan, sekarang Alif tumbuh menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Tertib menjalankan sholat di masjid, bisa belajar sendiri saat ulangan di mana konsentrasi Ibu tidak bisa berpaling dari adiknya yang tidak kalah ‘istimewa’, daaannn … dia sudah lancar membaca Al Qur’an. Alhamdulillah.
Jadi, untuk yang satu ini, Ibu gigih mengingatkan Alif di konsep pidatonya,”Jangan lupa berterima kasih sama Ibu dan Bapak Guru, Kak. Minta maaf juga atas kesalahan kamu”.
Daannnn … akhirnya ….
Alhamdulillah … begini dah selesai ya Bu? Sebelum wassalaamu’alaikum bilang  wabilahi wafiq apa Bu?”
Wabillahi taufik wal hidayah, Kak”. Semoga, apa yang kakak tulis dari lubuk hati, ya Kak walaupun ada peran Ibu  yang mengarahkan.  :D 🌾


Komentar

  1. Hhhhmmm...kerenlah, secara ibunya juga jago bikin makalah, kalo cuma pidato untuk Kelas Sekolah dasar sih dah sambil merem ya Ji...hihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihihi ... pernah ngerasain emosi dah nyampe ubun-ubun juga ga mas, kalo ngadepin bocil2?

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjernihkan Nurani

Assalaamu'alaikum, Krisna

Demi Buah Salak