Postingan

Neng, Perempuan Galau

Malam itu, seperti biasa, setelah menjalani rutinitas sepulang kerja: menyapa anak-anak yang bersiap tidur, merapikan pakaian yang sudah disetrika, mencuci gelas-gelas berserakan, mandi dan sholat isya, Neng masih ada tugas memeriksa hasil pekerjaan kakak menjawab latihan ujian nasional matematika. Rasanya, hampir   setiap kesempatan, dia mendampingi kakak memahami konsep soal matematika, dari mulai bahan masuk pesantren, MTs Negeri, sampai try out di sekolah, tapi … hasil nya belum ada yang memuaskan. Padahal Ujian Kelulusan SD tinggal menghitung hari. Menurut pengamatan Neng, bukan karena kakak tidak mengerti apa yang harus dikerjakan atau bagaimana harus menyelesaikan soal, tapi lebih karena daya juangnya yang kurang. Gampang menebak, atau cenderung terlalu santai mengerjakan setiap soal. Seperti tak ada dimensi waktu. Serasa dia tidak bersaing dengan orang lain untuk mendapat nilai benar sebanyak-banyaknya. Menjadi Ibu yang diandalkan di rumah sebagai guru privat tentu saja ...

Senyum Eiichi

Rasanya berlebihan sekali kalau senyum seseorang bisa menjadi pelipur lara yang begitu ampuh. Karena bisa saja dia hanya mencoba ramah sebab pembawaannya yang ramah. Tapi, senyum yang tulus terpancar itu menjadi begitu berarti saat engkau merasa sendiri, terasing, bingung dan hampir kelaparan. Saat tiba di Narita dan bertemu dengan sekitar 40 orang penerima beasiswa lainnya dari 15 negara berkembang saja Neng sudah berkecil hati. Setiap mereka minimal membawa 2 koper paling besar, 1 koper besar, dan 1 ransel. Cuma Neng saja yang kelihatan santai dengan hanya membawa 1 koper besar dan satu tas ransel. Mereka siap menghadapi perbedaan cuaca dengan pakaian dan makanan. Mereka siap menikmati hidup dengan bermacam sepatu dan peralatan olahraga. Sedangkan Neng? Ketika berkemas saja dia berhitung membawa baju sekedar cukup untuk 7 hari,   beberapa bungkus Indomie,   3 bungkus bumbu pecel. Giiiee…kapasitas bagasi dan bayangan repot mengangkat-angkat koper kerap menghantuinya. ...

Senyum Manis Itu Lagi

Gambar
bagian kedua dari Kabut Di Matamu “Kak, kok masih cemberut? Ada apa sih, Kak?” Pagi-pagi, sambil membereskan tempat tidur, Ibu mencoba mengejar Kakak. Ga enak banget dicemberutin anak tanpa tahu sebabnya. Kakak melipat selimut,”Ga ada apa-apa, Bu”. Dia masih mencoba menahan amarahnya. “Ga ada apa-apa tapi kenapa seperti orang kesal begitu? Ayoo, bilang ada apa?” Maunya sih tegas. Tapi kesannya Ibu malah marah-marah :-p “Aku ada PE-ER bikin pidato perpisahan. Di sekolah, aku belum belajar  cara buat isinya, Bu”, Alif mendudukkan diri di pinggir tempat tidur. “Ya … sudah buatnya nanti kalau sudah diajari Bu Guru. Pasti nanti diajarkan kan?” Ibu duduk menemani Alif yang matanya nampak berani menatap Ibu dengan emosi. “Dikumpulnya hari Selasa pekan depan”, dia mulai terdengar putus asa,”aku tanya Ayah buku cara bikin pidato malah dimarahin. Aku sebel sama Ayah!!! Kenapa sih aku dimarahin melulu?” Nadanya mulai meninggi … heiiii … berhenti, berhenti! Huffhhh …  begin...

Kabut di Mata Mu

Hari Rabu itu Ibu pulang agak malam. Terus terang saja, Ibu sengaja mencari mood di kantor dulu sebelum pulang. Membaca catatan Bu Guru di buku penghubung Najib malam sebelumnya, membuat Ibu harus menebalkan mental, menenangkan hati, dan mendinginkan otak sebelum mengajarkan pelajaran yang akan dites di ulangan. Demi membuat Najib lebih terlatih dengan pengurangan bersusun panjang dan pendek, kemarin malam itu emosi Ibu benar-benar terkuras. Sampai-sampai Ayah turun tangan. Bayangkan … Di buku tulisnya, Najib memperoleh angka 100 untuk 10 nomor latihan matematika tentang pengurangan bersusun panjang. Dengan gaya bidadari surga yang sabarnya sepenuh langit dan bumi (hehehehe …) awalnya Ibu memberi petunjuk cara mengerjakan contoh soal … “Begini lho, De … kalau 45-32, ditulis dulu 45 =    …. (untuk puluhan) + … (untuk satuan. Terus di bawahnya tulis 32= ….. (untuk puluhan) + …  (untuk satuan). Tarik garis paaaaanjaaaang di bawah 32 itu lalu kasih tanda kurang...

Di Puncak Yamamoto Yama

Gambar
Setelah menempuh jalan menanjak dan berliku mengitari hutan-hutan lebat di gunung (yama) Yamamoto, rombongan tiga mobil mini itu sampai juga ke puncaknya, (mungkin sekitar) 2.500 -an meter di atas permukaan laut. Hektaran bunga matahari sengaja ditanam sebagai hiasan musim semi yang akan menyilaukan mata dengan warna kuningnya yang kemilau. Kuncup-kuncupnya yang kini belum lagi mekar, merunduk takzim seolah sedang khusyu’ berhikmad kepada Sang Khalik. Dari atas sini, langit begitu dekat. Awan berarak di depan mata dihantar angin senja musim panas di Ojiya. Dan ratusan meter di bawah sana, sungai Sinonem meliuk anggun dengan warna coklat terangnya membelah gedung-gedung perkantoran, perumahan, sawah dan ladang di Ojiya. Ojiya bagian dari provinsi Niigata, dengan jarak kira-kira 4 jam perjalan menggunakan Shinkansen dari Tokyo. Kalau di Indonesia, ia merupakan kabupaten yang mungkin jaraknya sama dengan Prambanan – Jakarta. Tapi Neng tak perlu membandingkan Ojiya dengan kabupaten ...

Najib Mau Sholat

Ya ampuuunnn … susah amat ya, nyuruh sholat si nyemluk (julukan gemeusss Ayah untuk Najib yang chubby ). Adaaa saja alasannya … “Aku masih gambar, Ayah” … “Aku mau makan, Ibu” … “Aku capek, Emak” … “Pokoknya aku tidak mau sholat, Baba” … dua yang terakhir adalah panggilan si nyemluk ke pengasuh anak-anak dan suaminya. Kalau kakaknya, bisa di-persuasi, di-sugesti, di-motivasi dengan hal-hal yang bersifat ‘ghaib’, misalnya: tabungan pahala mu sudah banyak, lho … Allah sedih lho, kalau kamu tidak datang sholat … nanti dibangunkan rumah indah lhoo di surga. Tapi, si nyemluk ini kalau dikasih motivasi ‘ghaib’ seperti itu malah bertanya: “Memang Allah ada di mesjid ya, Bu?” “Surga itu di atas awan ya, Bu?” “Aku kan maunya paha ayam, Bu. Bukan paha la…” Tapi, Ayah tidak kehabisan strategi untuk membiasakan Najib sholat: naik motor ke masjid yang jaraknya hanya 300 meter-an dari rumah. Setiap hari libur, plus shubuh Ayah akan tergopoh-gopoh mengeluarkan motor, kecuali huj...

Tahun (yang Selalu) Baru

Alamaaakkk!!!Belum lagi jam 12 malam, pekik suara terompet dan gelegar kembang api bercampur suara petasan sudah mengusik telinga. Belum lagi kicauan bocah-bocah kecil yang mengekspresikan kegembiraan menyambut pergantian tahun. Senang sekali ya, mereka bertambah tua??? Bahhh!!!Cuma Neng aja kali, yang apatis terhadap hingar   bingar tahun baru. Dan bisa jadi itu aneh. Coba lihat, di Bundaran HI jadi lautan manusia, di MONAS juga berjubel manusia, bahkan di pusat perbelanjaan perumahan elit di pinggiran Jakarta dekat rumahnyapun   riuh tumpahan manusia. Orang-orang rela merogoh kocek lebih dalam untuk berdiri, berjejal-jejal demi menyambut pergantian tahun di hotel-hotel, pantai karnaval, Transstudio,. Jadi, mungkin Neng aja yang aneh, malam tahun baru lebih senang berkemul selimut di rumah. Ayyyolahhh!!! Coba lihat orang-orang itu. Artis maupun orang biasa yang sempat diwawancara di TV. ”Apa harapan Anda di tahun depan?” “Saya ingin lebih sukses berkarir”, “Se...